My FLP, My First Love

Rabu, 20 April 2016

Suatu Malam di Kaliurang

Malam itu 31 oktober. Malam yang mencekam di Kaliurang. Malam yang bisu kecuali pekikan burung-burung hantu yang cukup merindingkan bulu roma. Aku dan Joni, kawanku, menyisir bukit Plawangan menuju pesanggrahan dengan sepeda motor tua keluaran tahun 70-an. Malam yang gelap, pekat, jalan pun tak bisa di tembus kecuali dengan lampu motor. Suasananya horor. Setiap sudut jalan, pohon-pohon raksasa berdiri gagahnya dan takut-takut itu adalah genderuwo. Kami berusaha tak menakuti diri sendiri. Membaca ayat-ayat sekenanya. Tapi tetap saja, takut-takut ada kuntilanak nebeng di belakang, atau pocong mencegat di depan, atau suster yang ngesot-ngesot mengejar motor kami.
“ Jon, kebut bawa motornya. Serem suasananya “ mandatku.
“ Ini juga sudah pol gasnya “ Tukas Joni dengan muka yang menengok. Kulitnya yang hitam legam membuatnya tertelan malam. Hanya gigi-gigi tonggosnya menyala-nyala di antara malam pekat itu. Motor itu telah di gas pol. Tapi larinya kayak keong gemuk pincang berjalan di atas lumpur.
Malam senyap. Jam sekitar pukul satu dini hari. Tak ada seorang pun tersisa memelekkan matanya. Semua sudah di alam mimpi masing-masing. Kupegang Joni merinding. Kebiasaan buruknya. Kalau sedang ketakutan. Ia akan merinding gila, bulu romanya seperti sedang dangdutan. Goyang sana-goyang sini. Lalu lihat bokongnya, bergerak-gerak menahan kentut, walaupun dengan kawan dekat ia masih menjunjung tinggi tata krama, menghargai hak asasi manusia -  taat pada adat istiadat - takut pada mitos-mitos neneknya – demi menjaga harkat dan martabat dirinya - juga menyelamatkan mukanya dari segenap umat manusia yang akan menggunjingnya: maka ia tidak buang angin sembarangan. Dan kalau sudah meletus, baunya bisa meracuni ayam se-RT.
Motor tua keluaran tahun 70-an itu suaranya sudah seperti kentut Joni, merepet timbul-tenggelam, dan kalau di tengok knalpotnya sudah seperti pantat ayam senewen yang mau mengerami telurnya. Dekup jantungku belum karuan. Ini seperti uji nyali. Mungkin kalau boleh memilih, Joni akan melambaikan tangan saja karena bulu romanya bukan tingkat dangdutan lagi tapi sudah ke tingkat dugem. Nafas pun tersengal-sengal ingin cepat sampai di pesanggrahan. Tapi itu masih jauh.
“ Wahh gaswat, muturnya muguk. Sudeh senen-kemis suerenya “ ngomongnya tak karuan saking bergetarnya tubuh gempalnya itu. Keringat dingin mengucur di dahi yang hitamnya bukan main.
“ Terus bagaimana, nih, Jon? Mana suasannya kayak di film Suzzana lagi “ tukasku.
“ Iya, takut-takut ada kuntilanak mampir ke sini atau pocong yang sengaja nyamar jadi tukang benerin motor “ khayalannya ngelantur ke Ki Joko Sableng, dia adalah kuncen makam di kampungnya yang konon bertemu kuntilanak dan pocong yang sengaja nyamar jadi tukang bakpia kesukaan aki-aki peyot itu.
“ Tenang, masih ada kawanmu ini “ Padahal aku sendiri kalau ada kuntilanak atau pocong akan ambil langkah seribu. Maklum badanku kurus hingga lariku cepat di banding Si Joni yang badannya kayak karung goni di isi beras sekwintal larinya macam motor tua ini.
Joni mencoba memeriksa motor itu. Tak paham sebenarnya masalah otomotif. Terus untuk apa di periksa kalau tak paham?
“ Aku tahu kemampuanmu, Jon. Tak perlu di lihat motor itu. Toh, sampai nenek-nenek disko kelenger minum air pun tak akan jalan motor itu “
“ Aku ingin menunjukkan kepadamu bahwa inilah aku sebagai lelaki sejati apapun masalah dalam hidup ini harus di jalani dengan keikhlasan, ketabahan, dan penuh dengan rasa syukur “
“ Lantas apa hubungannya dengan motor mogok?”
Ia hanya nyengir, garuk-garuk pantat. Gigi-gigi tonggosnya unjuk gigi. Menyala-nyala.
“ Go, Argo. Itu apa, Go, putih-putih? “ panik.
“ Mana? “
Aku menengok. WAWWWWW. Kuntilanak. Itu kuntilanak. Rambutnya hitam panjang terurai. Busananya putih dan mukanya putih lalu matanya hitam legam berbentuk lingkaran. Setidaknya itu sama persis seperti kuntilanak yang kulihat di film-film. Kami panik. Kuntilanak itu mendekat. Semakin mendekat.
“ Lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii “ pekikku.
Joni malah sibuk dengan motor tua kesayangannya itu. Tak tega ia meninggalkan soulmate-nya itu. Ia berprinsip susah-senang harus bersama. Tapi ini situasinya darurat, bukan? Ah, ia mendorong sekuat tenaga motor itu. Namun itu masih seperti keong gemuk pincang. Kuntilanak menangkapnya.
“ Hihihihihihiihihihihiihhi,,hehehehehehehehehhe,,hihihihiihihihihihih, hehehhehehehe,,hihihihihihihihihiihi “ kuntilanak itu tertawa kegirangan kayak anak kecil di kasih balon. Joni makin ketakutan. Bulu romanya sudah tingkat rocker. Badan karung goninya dua derajat celcius. Tangannya berusaha mengelak namun kuntilanak itu memencet tangannya dengan kuku-kuku yang belum di pedicure-menicure itu.
Joni makin panik. Tak apalah ia tak menjunjung tinggi tata krama, tak apalah ia tak menghargai hak asasi manusia -  tak apalah ia tak taat pada adat istiadat – tak apalah ia tak takut pada mitos-mitos neneknya – tak apalah ia tak menjaga harkat dan martabat dirinya – tak apalah ia tak juga menyelamatkan mukanya dari segenap umat manusia yang akan menggunjingnya. Tapi sudah tak tahan lagi. Preeeeetttt, preeeeeet, preeeeeeet, preeeeeeettt, cuuuuussssssss.
Kentutnya cetar membahana. Baunya mengelus-elus mematikan kuntilanak itu. Kuntilanak itu kelabakan. Kelihatannya mau semaput. Lihat saja ekspresinya, hidungnya mengendus-endus macam anjing pelacak. Kuntilanak itu sempoyongan kayak habis menenggak sepuluh botol anggur. Berputar-putar tak karuan. Berdisko-disko dengan suara kentut itu. Kuntilanak itu tumbang.
“ JON, CEPAT LARI ! “ pekikku di kejauhan.
Joni terbirit-birit dengan motor soulmate-nya itu. Aku berusaha mencari keramaian dan tempat aman agar jauh dari gangguan kuntilanak. Namun tempat itu tak kutemukan. Jam sudah menunjukan pukul 2.00 pagi. Nafas kami tersengal-sengal seperti habis lari Jakarta-Singapore. Memburu. Dekup jantung kian tak teratur. Bergema hendak copot.
“ Kebiasaanmu itu berguna juga “
“ Berguna sih berguna. Tapi aku juga mau mati di racuni gas alam itu “ dengan nafas senin-kamisnya ia bicara.
“ Sepertinya kuntilanak itu masih akan mengejar kita “
“ Kita harus menyusun strategi sejitu mungkin agar kuntilanak itu pergi seperti strategi bangsa pribumi mengusir para kumpeni-kumpeni. Mau ditaruh di mana harga diri kita bila tak bisa mengusirnya? “ lagaknya selalu bawa-bawa harga diri.
Malam masih mencekam. Asap-asap mengalun entah dari mana datangnya. Burung gagak bernyanyi horor hingga bulu roma kami kembali berdiri. Sepi tetap membayang.  Langit pun membisu. Tak ada satu pun bintang yang genit berkedip atau bulan yang memantulkan sinar kemari. Tak ada cahaya sedikit pun. Semua gelap. Kecuali kalau Joni nyengir.
“ Jon, Jon, Jon, lihat itu Jon! Kuntilanak yang tadi. Dia membawa gank-nya. Wahhh, gawat ada dua pocong di situ menuju ke mari “ ujarku cepat.
“ Pikirkan sesuatu, ahaaa kau bawa knur layangan, kan? “
“ Enggak “ kataku.
“ Lah tadi sore main layangan pakai apa? “ Joni meyakinkanku.
“ O iya ya “ malah aku yang jadi sedikit rada-rada.
Aku mengambil knur dari dalam tas. Kami buru-buru mengaitkan knur itu di antara pohon yang berseberangan jalan. Perangkap siap menjerat dua ikat pocong dan seekor kuntilanak. Kalau kami bisa menaklukan mereka, bukankah ini suatu prestasi?  Kami akan masuk ke dalam buku World Record sebagai penangkap setan terulung. Akan menjadi sesuatu yang keren. Kami akan masuk TV terus di foto-foto, di kasih penghargaan, pembuatan rekor baru, di sanjung banyak orang, memiliki banyak followers di Twitter, jalan-jalan keliling dunia menceritakan pengalaman kami, terus menjadi bintang tamu di acara Talkshow, menjadi orang kaya baru. Ahh, indah betul nampaknya. Ngimpi.
“ Jon, Jon, tuh pocong satu kenapa jatuh? “ aku heran tiba-tiba pocong jatuh di tengah jalan.
“ Siapa yang buang hajat sembarangan, ya? “
“ Memangnya kenapa? “
“ Itu pocong terpeleset gara-gara ada orang buang hajat sembarangan. Lihat saja kakinya kuning begitu “
Hahh? Aku tertawa cekikikan dalam hati. Satu hal yang Jono belum tahu dariku : Aku suka buang air sembarangan kalau lagi ketakutan. Aku diam-diam saja takut-takut harga diriku tercoreng gara-gara itu. Adem ayem. Sebenarnya gatal dari tadi belum menemukan empang atau kali yang bisa di pakai untuk membersihkannya.
“ Wahhh, Go, gawat. Ada motor lewat. Kayaknya ketakutan melihat pocong dan kuntilanak itu. Motor itu menuju kemari. Ngebut lagi bawanya “
Motor itu melaju dengan kecepatan tinggi. Mungkin penunggangnya takut di kejar pocong dan kuntilanak itu. Wuuuuuuuuuuuuuuussssssssssssssssssssss. Gubrak. Motor itu melaju sendiri tanpa ada yang mengendarai. Penunggangnya kelojotan nyusruk di got. Waduuuh gawat perangkap salah sasaran. Pocong dan kuntilanak itu mendekat. Kami panik. Harus dengan cara apa menaklukan mereka.
“ Hihihihihihiihihihihiihhi,,hehehehehehehehehhe,,hihihihiihihihihihih, hehehhehehehe,,hihihihihihihihihiihi “ kuntilanak itu rupanya masih bisa tertawa setelah di basmi dengan kentut Si Joni.
“ Kita lawan mereka, Jon ! “ seruku.
“ Bersatu kita terguh bercerai kita enggak teguh. Seraaaaaaaaaang ! “
Joni ke arah kuntilanak itu. Sementara aku menuju pocong jelek satu ini. Kita siap bertempur. Apapun hasilnya, ini demi harkat dan martabat kaum manusia atas pengganguan kaum setan. Menang berarti jaya, enggak menang berarti, ya enggak jaya.
Joni nyengir di depan kuntilanak itu. Gigi-gigi tonggosnya melesat-lesat cahayanya menyilaukan kuntilanak itu. Mulutnya menganga, gigi menyeruak, lalu ekspresi mukanya jelek bukan main. Tak bisa di lukiskan dengan kata-kata mukanya itu, saking jeleknya. Lalu ia menghembuskan nafas karena dari tadi sesak nafas bergelut melawan rasa takut. Huuuuuuuuuuhhhhh.
Aneh. Tiba-tiba kuntilanak itu tumbang. Kelojotan, semaput, pingsan. Aku baru sadar tiga hal dalam dirinya yang bau : Kentutnya yang bisa meracuni ayam se-RT, mulutnya yang bisa membuat burung tetangga mendadak sakit, dan keteknya yang bisa membunuh kawanan nyamuk kalau ia sedang tidur tak pakai baju. Untunglah, berguna juga bau-bau aneh itu di situasi yang mengerikan ini.
“ JON, AMBIL TAS ITU, JON. MASUKIN KE KEPALA POCONG INI. KITA GEBUKIN RAME-RAME “ teriakku pada Joni.
“ Ampun, Bang, ampun. Jangan gebukin saya “ pocong itu berkomentar ketakutan.
“ Lah kok pocong takut di gebukin? “ aku heran.
“ Kami dari acara Jahil-Jahilan. Lihat, di situ kamera, di sebelah situ kamera, dan sebelah situ kamera ! “ menunjuk-nunjuk kamera.

Ah, sial. Kami di kerjain. Joni malah asyik melambai-lambai ke kamera. Mungkin ia ingin bilang : Mak, Joni masuk TV.

Januari 2013, Apen Sumardi McCalister

Tidak ada komentar:

Posting Komentar