My FLP, My First Love

Selasa, 19 April 2016

Senyum Langit Kopenhagen (Cerpen)


Rinai - rinai hujan mengguyur lembut  di tiap sudut kota Kopenhagen. Kanal - kanal di taburi jutaan titik -  titik air dari langit. Lalu di sana, kapal – kapal merapat ke pelabuhan Ny Havn. Di sudut lain, gereja-gereja dan bangunan-bangunan kuno lainnya memantulkan sinar yang melesat-lesat dari kaca-kaca. Lembut sekali suasananya. Lampu merah menyetop mobil-mobil mewah yang melintas. Lalu Orang-orang berambut pirang-berhidung mancung berseliweran di jalan. Mereka berjalan kaki, bersepeda, menikmati kota sehabis hujan raib.
Kopenhagen memang kota yang indah. Udaranya bersih, bertebaran kanal-kanal, dekat laut, dan sejauh mata memandang berderet-deret bangunan kuno berarsitektur memukau. Kopenhagen juga surganya pejalan kaki. Penduduk-penduduk Denmark gemar berkeliling kota berjalan kaki atau bersepeda. Mereka  menyusuri Stroget untuk berjalan kaki. Sungguh memikat hati.
Begitu dengan hati Raisha yang terpikat untuk mengunjungi Kopenhagen. Gadis manis ini jatuh cinta kepada Kopenhagen telah lama. Sejak seseorang memberitahunya tentang Kopenhagen. Liburan kali ini ia kemari. Sendiri. Ia sibuk memotret-motret di tepi kanal itu. Burung-burung berseliweran riang. Di pagar sana, nangkring dua ekor merpati memadu kasih. Hangat. Ia mengabadikannya.
Cahaya matahari makin meredup. Air kanal yang tenang melukis matahari. Memukau. Memanjakan mata. Semburat cahayanya terbias lembut. Perahu-perahu mungil di jantung kanal mulai merapat. Membawa berpasang-pasang kekasih menikmati romantisnya sore ini. Mereka duduk berdua, bertatapan mata, berpegangan tangan, atau memberi sebuah kecupan manis di dahi. Menulis nama mereka dalam kertas, di masukkan ke dalam botol, di lemparlah botol itu ke kanal. Mengalir menuju laut. Berharap cinta mereka abadi. Begitu hangat.
Raisha begitu manis. Rambutnya terurai lembut. Matanya teduh. Hidungnya mancung. Bibirnya terbentuk indah. Merah seperti buah saga. Dan satu lagi yang membuatnya begitu manis, lesung pipit. Gadis ini secantik embun tersenyum, semanis senja yang kian merona. Terpancar dari aura wajahnya yang menyala-nyala bagai aurora. Senyumnya khas. Lebih dari manis.
Tak jauh darinya, seorang lelaki juga asyik memotret. Badannya tinggi. Putih. Mancung. Nampaknya penduduk Kopenhagen.
“ Excuse me, sir. Do you know how to get Tivoli ? “ Tanya Raisha tentang Tivoli, taman hiburan di Kopenhagen, semacam Disney Land atau Dufan. 
“ Of course. I .... “ lelaki itu ngerem lidahnya. Menatap lekat Raisha. Mata mereka bertemu. Sekelebat burung lewat. Namun tak menggemingkan mereka.  Tatapan itu lembut. Syahdu.
“ Raisha...Sure, it’s you “ Bibirnya Bergetar. Cinta yang hilang. Serpihan hati yang pergi. Ah, indah nian Tuhan mempertemukan mereka. Tak pernah di duga.
 Desir angin membelai lembut wajah Raisha. Berlarian menuju bangunan warna-warni di sepanjang  pelabuhan Ny Havn. Mata itu tak berkedip. Masih tetap tertuju pada lelaki bermata biru itu. Ia tahu, ia Pieter, sang mantan kekasih waktu SMA dulu. Sewaktu Pieter tinggal di Jakarta. Lantas pergi meninggalkannya. Entah mengapa ia pergi. Hatinya masih tertohok.
Tiba-tiba suasana bungkam. Hening. Penduduk-penduduk Kopenhagen berseliweran di pinggir pelabuhan. Duduk-duduk atau sekedar menghirup udara di pinggir kanal. Di balik kaca-kaca kafe dan restoran, mereka menengok ke kapal-kapal kayu kuno yang berlalu-lalang. Ah, masih begitu hening. Sebenarnya Pieter ingin berkata sesuatu. Sungkan lelaki tampan itu. Lama tak berjumpa. Jantung berdekup kencang. Getar-getar cinta masih tetap cetar membahana.
“ Aku rindu padamu  “ Rindu itu tak terbendung. Empat tahun tak bertemu. Sungguh waktu yang tak sebentar.
Raisha tak bergeming. Masih bungkam. Tak peduli. Tatapannya tertuju pada rumah-rumah kuno penduduk yang di biarakan seperti aslinya. Hatinya begitu sakit di tinggal lelaki ini. Tersayat-sayat hatinya bagai smorrebrod, makanan khas Denmark yang di santap turis-turis.  Semburat cahaya orange matahari pun tak membuatnya bicara sepatah kata pun.
                                                            ***
Raisha melangkahkan kakinya. Menyusuri jalan-jalan di Stroget. Sepanjang  jalan di suguhi barang-barang unik yang di jual. Bertemunya ia dengan Pieter kemarin membuat ia resah. Tak mau menemuinya lagi. Penduduk berseliweran hilir mudik. Riang. Riuh. Sungguh memikat kota ini. Raisha terus berjalan. Mencari Bottega Veneta, berburu sepatu.
“ How much is this ? “ tanya sang lelaki kepada penjualnya.
“ Two hundred Khrone “ jawabnya ramah.
Lelaki itu melengos. Menyenggol Raisha. Ia oleng. Lelaki itu menahannya. Memeluknya segan. Mata mereka bertemu. Alunan biola dari seniman-seniman jalanan  begitu merdu. Syahdu. Nada-nada yang indah membumbui situasi ini. Mata itu tetap bertatapan. Sepuluh detik, dua puluh detik. Ah, sungguh indah Tuhan merancang situasi ini. Lagi-lagi itu Pieter.
Betapa sempitnya Kopenhagen. Selalu mereka bertemu di tempat yang tak pernah di rencanakan. Sungguh memukau Tuhan merangkai peristiwa-peritiwa itu. Mereka terlihat canggung. Kikuk. Di sekitar, orang-orang melihatnya. Atau bahkan, seseorang memotretnya karena betapa romantisnya adegan itu.
“ Kenapa kau lari kemarin ? Aku ingin bicara. Aku rindu padamu “ Pieter tetap memandang matanya. Lekat. Sinar cinta itu masih memancar. Deras memancar.
Raisha pergi. Menerobos keramaian. Mencari sepeda. Tak mau melihat muka Pieter lagi, terlalu menyakitkan. Goesan kaki-kakinya membuat sepeda itu meluncur kencang. Wusssss. Pieter di belakang mengekorinya. Ingin bicara dengannya, gadis yang di rindukan empat tahun ini. Ia menerobos keramaian. Melewati patung Little Mermaid, sebuah patung maskot putri duyung, kebanggaan penduduk Kopenhagen. Tembus menuju Amalienborg Palace, istana Ratu Margareth II, di jaga beberapa orang penjaga mengenakan pakaian tradisional seperti penjaga Ratu Inggris yang di jahili Mr.Bean, hingga tiba di danau Lob Rundt Om Soerne.
“ KENAPA KAU MENGIKUTIKU ? BELUM PUASKAH KAU MELUKIS LUKA DI HATI INI? “ tinggi sekali nadanya. Melengking. Bagai musik rock.
“ Aku merinduimu “ dialeknya layaknya orang bule kebanyakan bicara Bahasa Indonesia. Agak gemelitik di dengar.
“ Buang saja rindu itu. Aku tidak membutuhkannya “ sambil duduk di bangku-bangku taman. Sinis sekali nada ia bicara. Kecewa itu masih membayang. Pieter meninggalkannya begitu saja, tanpa sepatah pun alasan ia memutus hubungan itu. Tiga tahun menanam cinta. Cinta itu tumbuh bersemi bagai bunga cantik di musim semi. Namun cinta itu kandas terpatahkan entah apa penyebabnya. Begitu tercabik hati gadis manis itu.
“ Maafkan aku. Ini salahku. Tak pernah maksudku meninggalkanmu “
“ Tapi kau melakukannya “
“ Aku mencintaimu, Raisha. Batinku tersiksa empat tahun ini. Dan ...”
“ LALU BAGAIMANA DENGAN BATINKU? TAK TAHUKAH KAU AKU TERSIKSA? “ nadanya kian melengking.
Air mata mengucur laun di pelupuk mata gadis manis itu. Tumpah. Turun melalui selah-selah pipi. Membasahi lesung pipitnya lalu jatuh ke bangku mungil yang di dudukinya. Gadis manis itu sedikit sesenggukan. Kecewa. Benci. Sedih. Semua berbaur. Pieter merapat. Duduk di sebelah gadis yang tujuh tahun di cintainya itu. Memeluknya lembut. Mengusap-usap rambutnya mesra. Matanya berkaca. Raisha mengelak.
“ Setahun setelah meninggalkan Indonesia, aku kembali mencarimu. Ke rumahmu, namun kau sudah pindah. Menghubungimu, aku tak tahu nomormu. Ku tanya tetanggamu, tak ada yang tahu. Aku putus asa. Dan hari ini, Tuhan mengijinkanku bertemu denganmu lagi. Aku ingin melepas rindu yang empat tahun ini terkubur di hati “
“ Untuk apa kau kembali? Untuk apa kau mencariku? Hadirmu hanya akan membuatku terluka “ melengking.
“ Karena aku mencintaimu “
Mata itu kembali bertemu. Sinar-sinarnya makin kuat. Wajah-wajah membias di mata mereka. Membuat sore itu agak mellow. Menegangkan. Dua anak manusia yang terpisah kembali bertemu. Namun harus di liputi kecewa. Danau Lob Rundt Om Soerne kian indah. Burung-burung berseliweran di jantung danau. Minum. Atau penduduk Kopenhagen bersantai di tepi danau. Duduk di bangku-bangku itu. Membaca buku. Di telinganya earphone berwarna-warni terpasang. Dan di sana, matahari akan di telan senja.
Sejuta maaf tak akan menebus kecewa itu. Raisha tetap tak bisa menerimanya.
“ Aku hanya mencintaimu. Dan tak ada yang lain “ menatap matanya.
“ Buang saja rasa cintamu. Aku hanya masa lalumu. Dan tak mungkin ada di masa depanmu. Sudah cukup aku merasakan ini semua. Sudah cukup “ melengos.
Getir. Pieter luluh. Gadis manis itu menyuruh membunuh rasa cinta yang tujuh tahun tumbuh di hati. Seakan hatinya runtuh. Mencoba untuk kembali, ia lakukan. Mencarinya ke Indonesia, sudah ia coba. Hingga Tuhan mempertemukan mereka di Kopenhagen, kota sejuta pesona itu. Namun cinta itu tak akan pernah kembali. Cinta itu di telan rasa kecewa.
“ Selama ini aku sakit. Makanya aku meninggalkanmu. Tak mau ... “
“ Cukup. Cinta itu tak akan pernah kembali. Hari ini aku pulang ke Indonesia. Senang bisa mengenalmu. Semoga kita tak bertemu lagi. Terima kasih atas cinta yang pernah hadir “
Ia pergi. Pulang ke Indonesia. Pieter terhenyak.
                                    ***Sebulan kemudian***
Pieter terbaring. Lemah. Tak berdaya. Mata birunya tertutup rapat. Tubuhnya di liputi alat-alat medis. Sebulan ini jiwanya  hilang. Ia koma. Penyakitnya kembali menggerogoti tubuh itu. Haru biru meliputi keluarganya. Ayah, ibu, dan adik-adiknya berwajah mendung. Tangis tumpah. Entah apa lagi yang harus dilakukan. Langit di Kopenhagen pun membiru seakan turut berduka cita. Mendadak Kopenhagen bermuram.
Jantungnya  berdekup laun. Deg-deg-deg. Kian laun tiap detiknya. Tiap hembus nafasnya kian tak tercium.  Mengkhawatirkan. Air mata deras mengalir dari mata-mata keluarga itu. Nyawanya di ujung tanduk. Sebulan tak sadar. Bukan waktu yang sebentar. Mungkin kalau bisa bicara, alat-alat medis itu lelah menempel di tubuhnya. Hampir tak bisa di tolong. Tim dokter hampir putus asa.
Pieter bertarung di lorong kematian. Malaikat pencabut nyawa serasa kian dekat. Ingin menjemputnya. Hari begitu murung. Berapa banyak tetes air mata yang harus tertetes. Mungkin Tuhan akan memanggilnya. Tuhan akan menemuinya. Waktu akan menelannya. Inilah detik-detik akhir umurnya.
Entah apa yang harus diperbuat. Sebelum koma Pieter selalu menyebut nama Raisha. Di tidurnya, di hari-harinya, bahkan sepanjang empat tahun ini ibunya selalu mendengar nama Raisha. Raisha, gadis manis itu amat di kenal keluarganya. Tapi, di manakah gadis itu? Tak seorang pun mengetahui keberadaannya. Entah harus ke mana menghubunginya. Membingungkan.
                                                ***
Ia memandang kertas itu berkali-kali. Kertas kecil biru bertuliskan angka-angka dan sebuah nama. Hatinya galau. Tersiksa. Deretan angka-angka itu nomor telepon Pieter. Mungkin Pieter telah menaruhnya di tas. Rindu bercampur kecewa. Cinta bercampur gengsi. Raisha merindukannya. Merindukan lelaki bermata biru itu.
Kertas itu  di remas. Di buang. Di ambil. Di buang lagi. Di ambil lagi. Di buang lagi. Lalu di ambil lagi. Jiwanya resah. Bingung. Kalut. Entah haruskah ia meneleponnya. Hatinya terus merangsek. Berontak. Hatinya berbisik: aku merindukan Pieter.
“ Hallo...Pieter “ suaranya lembut.
Bukan Pieter yang mengangkat. Ibunya menerima telepon itu. Ia berkisah kepada Raisha kondisi Pieter. Detail. Lengkap. Tanpa sensor. Hati Raisha tersentuh. Bergetar. Mendengar lelaki itu terbaring koma sebulan ini. Hatinya menangis. Menjerit-jerit melebihi anak yang tak dibelikan es krim. Ia ingin berbicara dengan Pieter. Telepon itu di taruh di dekat telinganya.
“ Pieter. Ini aku, Raisha. Bangun Pieter, bangun ! “ suaranya lirih.
“ Aku merindukanmu. Aku tak pernah membencimu, sedikit pun tak pernah. Selama ini, empat tahun ini aku merindukanmu. Aku tersiksa karena aku mencintaimu. BANGUN PIETER, BANGUN! “ suaranya agak parau.
Pieter tak bergeming. Tubuhnya masih di liputi alat-alat medis itu. Koma.
“ Tegakah kau meninggalkanku untuk kedua kalinya? “
“ AKU MENCINTAIMU “
“ Selama ini aku berusaha melupakanmu. Tapi semakin aku melupakanmu semakin aku mengingatmu. AKU MENCINTAIMU, PIETER. BANGUNLAH ! Aku tak ingin kehilanganmu untuk kedua kalinya “
Deg. Jantungnya berdekup kencang. Jari-jari itu mulai bergerak. Perlahan.
“ Bangun Pieter ! Aku mencintaimu. Bangunlah ! “ air matanya mengalir.
“ A...ku juuu..ggggaaa...meennn..cinnnn..ttaaiimmuuu “
                                                ***
Di atas Round Tower, di jantung kota Kopenhagen, mereka menghirup keajaiban Tuhan. Kekuatan cinta yang besar. Sebulan koma, sadar karena kekuatan cinta. Cinta yang tak pernah hilang. Tuhan merancang ini begitu indah. Kopenhagen cerah. Mereka berdiri di puncak Round Tower. Sejauh mata memandang, terlihat sejuta saksi cinta terhampar di langit Kopenhagen.
“ Tuhan menunjukkan keajaibannya. Tuhan menciptkanmu hanya untukku. Will you marry me ? “ manis terucap.
“ Sure “ dengan mantap.

                                                ***THE END***


2 komentar:

  1. selalu suka dengan karya sastramu.. ditunggu rilis novel, dan karya sastra lainnya.

    sukses selalu

    BalasHapus