My FLP, My First Love

Jumat, 27 Mei 2016

Main Game? Boleh atau Tidak?

Sebentar lagi ujian kenaikan kelas, lalu ambil raport. Setiap pembagian raport selalu saja ada orangtua murid yang curhat ke saya kalau anaknya sering banget main game. Tidak hanya pembagian raport sih, kadang orang tua siswa sering curhat saat istirahat zuhur sambil mengantar makanan untuk anaknya. Masalahnya hampir sama kalau tidak game, ya mainan HP.
Anak-anak zaman sekarang memang tidak bisa terlepas dari yang namanya game. Namun masalahnya  game yang mereka mainkan sama sekali buruk untuk mereka. Salah satunya GTA. Padahal game tersebut diperuntukkan untuk usia 17 tahun ke atas, meski fakta di lapangan  justru banyak anak di bawah umur yang memainkannya. Seperti diketahui GTA menampilkan kekerasan yang brutal, sumpah serapah, penggunaan narkoba, bahkan adegan seks terbuka.
Anak boleh bermain game. Game adalah alat dan alat itu netral. Yang membuat tidak netral adalah jenis dan isi dari game-nya. Jenis-jenis game yang isinya mengandung kekerasan dan pornografi tentu perlu mendapat perhatian khusus dari kita sebagai guru dan orang tua.
Namun, bila ditanya apakah game kekerasan sama sekali tidak boleh dimainkan oleh remaja kita, saya pribadi sebenarnya menjawab tidak. Masalahnya, game seperti juga gadget lainnya, tidak bisa dihilangkan. Bila kita melarang mereka bermain di rumah, mereka bisa mencari sendiri di luar. Apalagi yang kita bicarakan di sini adalah remaja.
Kemudian apa yang harus kita lakukan? Bermainlah bersama mereka. Jadi, orangtua tidak hanya harus tahu game apa yang dimainkan anaknya, tetapi juga bermain bersama agar paham betul apa isi dan tayangan game ini. Saat mendampingi anak bermain, Anda bisa menerjemahkan game itu pada anak dalam bentuk baik buruk.
Misalnya, ketika bermain game Counter Terror, game melawan teroris  dan menyelamatkan sandera, Anda bisa berdiskusi dengan anak: apa yang dimaksud dengan teroris, kenapa bisa ada teroris dan bagaimana pandangan kita. Atau ketika melihat granat dan aneka senapan, kita juga bisa berdialog dengan anak soal jenis-jenis senjata dan bagaiman saja senjata itu digunakan oleh para polisi antiteror. Kemudian apabila anak menemukan kekerasan dalam kehidupan nyata, apa yang sebaiknya ia lakukan.
Terus bagaimana kalau orangtua sibuk dan tidak bisa mendampingi anak?
Tiap manusia punya waktu yang sama: 24 jam sehari. Jangan fokus pada “kapan tidak bisanya?”, tapi fokuslah pada “kapan bisanya?”. Tidak mungkin kalau orangtua sama sekali tak punya waktu. Bahkan orang sesibuk presiden pun punya waktu untuk keluarganya.
Persoalannya bukan “tidak punya waktu”, tetapi “mau atau tidak”. Bila mau, Anda pasti akan mengupayakan waktu untuk bermain bersama anak. Bila tidak mau, kesibukan selalu bisa dicari agar tidak ada waktu bermain dengan anak.

Bila hanya punya waktu di akhir pekan, ya bermainlah di waktu itu. Selain akhir pekan, berarti anak tak boleh bermain game tersebut. Jadi tak ada alasan “tidak punya waktu”, bukan?

Senin, 16 Mei 2016

Berkaca Pada Salman-Al-Farisi

Tulisan ini saya ketik sambil membantu istri saya membuat kue. Bantu buat kue sekaligus menulis. Yah, sambil menyelam sambil minum air, airnya segalon. Hehehe. Dan juga, saya menulis tidak lain untuk menyinari dunia dengan tulisan saya. Saya berharap para pembaca dan saya khususnya, bisa mengambil hikmah dari setiap tulisan yang saya tulis.
Di umur yang sekarang, saya sama sekali belum membuat ibu saya bahagia. Padahal beliau sudah semakin sepuh. Malu, malu rasanya. Ingat waktu kecil dulu, saya sering membentaknya, bepergian sering tidak ijin, merengek-rengek minta mainan, menyuruh-nyuruhnya, entah dosa sebanyak apa yang sudah saya lakukan kepadanya. Tapi beliau tidak pernah marah. Senyumannya terus mengalir untuk saya. Malah beliau sering mendoakan saya.
Ibu saya mulai menua. Bukannya membahagiakan, malah masih sering menyusahkannya. Bahkan belum mampu memberi yang terbaik baginya. Ampuni saya ibu. Saya jadi malu sekaligus tertampar dengan kisah Salman Al-Farisi. Usahanya sangat luar biasa untuk membahagiakan ibunya. Namun, sehebat apapun pengorbanan anak tidak akan pernah mampu membalas kebaikan ibunya.
Suatu hari, Nabi Muhammad ditanya oleh sahabatnya, “Ya Rasulullah, adakah orang yang paling disayangi oleh Allah SWT selain Engkau?”
Nabi menjawab, “Ada, yaitu Salman al Farisi.”
“Kenapa dia begitu disayang Allah?”
Kemudian Nabi bercerita bahwa Salman Al Farisi adalah orang yang berasal dari keluarga miskin sementara ibunya sangat ingin naik haji. Tetapi apalah daya, untuk berjalanpun dia tidak bisa. Ditambah lagi uang untuk pergi ke Tanah Suci pun tidak dipunyainya. Salman Al Farisi begitu bingung menghadapi kondisi itu. Namun akhirnya, dia memutuskan untuk mengantar ibunya naik haji dengan cara menggendong ibunya dari suatu tempat yang begitu jauh dari Mekkah. Diperlukan waktu berhari-hari untuk melaksanakan perjalanan itu sehingga tanpa terasa punggung Salman al-Farisi sampai terkelupas kulitnya.
Saat itu, ibunda Salman sedang sakit dan tidak memungkinkan untuk berjalan sendiri. Terik matahari siang dan dingin udara malam merupakan dua hal yang tidak bisa dihindari dalam perjalanan Salman menggendomng ibundanya sampai Makkah.  Satu hal yang menyemangatinya adalah keinginannya untuk membahagiakan ibunya, mengantarnya menuju tanah impian, kota Makkah.
Ketika akhirnya mereka sampai di kota Mekah untuk melaksanakan ibadah Haji, mereka bertemu dengan Rasulullah. Lengkaplah sudah kebahagiaan Salman beserta sang ibu ketika bertemu dengan manusia pilihan Utusan Tuhan yang sangat mereka cintai dan mereka rindukan.
Ketika itu, sang anak bertanya kepada Rasul, “Ya Rasul, apakah saya sudah berbakti kepada orang tua saya? Saya menggendong ibu saya di pundak saya, berjalan dari Madinah sampai Kota Mekah untuk melaksanakan ibadah haji.”
Seketika itu pula, Rasulullah menangis. Kemudian Rasul menjawab dengan diiringi tangisnya yang tersedu-sedu, “Wahai saudaraku, engkau sungguh anak yang luar biasa, engkau benar2 anak sholeh. Tapi maaf, apapun yang kamu lakukan di dunia ini untuk membahagiakan orang tuamu, apapun usaha kerasmu untuk menyenangkan orang tuamu, tidak akan pernah bisa membalas jasa orang tuamu yang telah membesarkanmu.”


Apen S. McCalister

Sabtu, 14 Mei 2016

Kau dan Aku



Engkau dan aku, kita bukan manusia sempurna, kadang kita sependapat, lebih sering kita berbeda pandangan
Tapi hidup ini memang penuh warna hingga tak semua harus sama dan serupa, adakalanya beda itu kaya
Memang kita tak lahir di tempat yang sama, kita terpisah pula oleh budaya, dibesarkan dengan cara tersendiri
Tapi kita disatukan oleh ikatan yang istimewa, yang datang dari pengakuan sempurna akan Pencipta kita dan cinta
Dengan ikatan yang lebih kuat dari benci, lebih panjang dari lintas masa, bertahan saat jauh, lebih dari dunia
Ikatan itu memberi kita tujuan dan arah, menjadi pelipur dalam lara, menjadi syahdu dalam bahagia
Bersama kita menjalani kehidupan, saling mendukung, berkorban agar yang lain bahagia, cinta karena Allah
Di belakang sudah banyak yang kita lewati, di depan masih banyak yang menanti, asalkan bersama dijalani
Biar aku memimpin di depan, jadilah temanku yang menjaga, menemani dan mendampingiku selalu disisi
Ada banyak saat aku tak mampu menjadi yang terbaik bagimu, maka maafkanlah, doakan aku tanpa bosan
Dan bila saat nanti waktunya datang, semoga ampunan Allah bagi kita, aku bagimu dan engkau bagiku


Apen S. McCalister

Rabu, 04 Mei 2016

Puspitaku

Puspitaku
Karya: Apen Sumardi

Ketika waktuku habis terbakar.
Dan mulai lelah bersama badai
yang mengamuk.
 Melukis cahaya saja hatiku kelu. Aku mengerti
mengapa kamu diciptakan.

Pasir dan debu adalah sahabatku.
Ombak dan pantai adalah
sepasang kekasih.
Lalu aku mulai bernyanyi. Aku mengerti
mengapa kamu diciptakan.

Puspitaku, yang tak pernah pudar
bersama waktu.
Nyawaku-nyawamu dijodohkan surga.
Warna-warnaku berkelip. Bersamamu
aku ingin melukis sejarah.
Kepada Tuhan aku bercerita.
Kepada Tuhan aku merayu.
Aku hanya ingin bersamamu.

Cikarang, 4 Mei 2016


Apen S. McCalister