My FLP, My First Love

Sabtu, 14 November 2015

Abaikan omongan-omongan yang menjatuhkanmu!!!

Raih Cita-Citamu, Raih Suksesmu

Sudah lama saya menonton video mengenai kisah seekor katak. Kali ini saya akan menceritakannya lewat tulisan ini. Sangat menginspirasi.
Pada suatu hari ada segerombolan katak-katak kecil yang menggelar lomba lari. Tujuannya adalah mencapai puncak sebuah menara yang sangat tinggi. Penonton berkumpul bersama mengelilingi menara untuk menyaksikan perlombaan, dan member semangat kepada para peserta perlombaan. Tak satu pun penonton benar-benar percaya bahwa katak-katak kecil akan bisa mencapai puncak menara.
Terdengar suara: “oh, jalannya terlalu sulitttttt! Mereka tidak akan pernah sampai ke puncak” kata salah satu penonton.
Ada juga yang berteriak “tidak ada kesempatan untuk berhasil, menaranya terlalu tinggi!!!” Katak-katak kecil mulai berjatuhan satu persatu”
Penonton terus bersorak, “terlalu sulit!!! Tak seorang pun akan berhasil”
Lebih banyak lagi katak kecil lelah dan menyerah. Tapi ada satu yang melanjutkan hingga semakin tinggi dan tinggi. Dia tak akan menyerah!
Akhirnya yang lain telah menyerah untuk menaiki menara. Kecuali satu katak kecil yang telah berusaha keras menjadi satu-satunya yang berhasil mencapai puncak.
Banyak peserta bertanya, “bagaimana caranya katak yang berhasil menemukan kekuatan untuk mencapai tujuan?”
Ternyata, katak yang menjadi pemenang itu  TULI.
Kita ambil hikmah dari kisah tersebut, ya!
Jangan pernah mendengar orang lain yang hanya bisa berbicara saja. Karena segala sesuatu yang kamu dengar dan baca bisa mempengaruhi perilakumu.
Dan yang terpenting…
Berlakulah tuli jika orang berkata padamu bahwa kamu tidak bisa mencapai cita-citamu.
I CAN DO THIS.

#Iamtheagentofchange

Kamis, 12 November 2015

Bagaimana Agar Anak Berprestasi?

Bagaimana Agar Anak Berprestasi?

Teringat saat-saat pembagian raport dulu waktu saya menjadi wali kelas 7C Ibnu Rusyid dan sekarang 7D Umar bin Khattab di SMPIT Al-Fawwaz. Hampir 90% orangtua tidak puas terhadap anaknya. Ini yang membuat saya membuat tulisan ini.

Pembagian raport dimulai jam delapan pagi. Satu persatu orangtua mendatangi saya kemudian curhat apa yang ingin mereka curhat kepada saya, selaku wali kelas anaknya.

“Assalamualaikum. Silahkan duduk, Bu!” saya mempersilahkan. Seperti biasanya, saya menunjukan dan menjelaskan nilai-nilai yang di dapat sang anak.
“Astagfirullah. Aduuuuuuh kok nilainya kecil-kecil sih, Mister?”
“Emang ya anak saya yang satu ini. Susah banget belajar. Tiap hari saya harus ngomel-ngomel melulu”
“saya tanya tiap hari begini. ‘Kamu tuh enggak pernah ada PR, apa? Kerjaannya tiduran terus. Bagaimana kamu mau berprestasi?’ ehhh dia malah jawab ‘Mama kepo nih. Mau tahu terus. Nanti juga aku belajar.’ kan saya sebal kalau anak saya begitu”

Saya mendengarkan baik-baik. Memang, ketika ada orang yang ingin curhat, kita harus mendengarkannya dengan seksama sambil memberikan solusi atau saran.

“Mr.Apen, bagaimana ya caranya biar anak saya berprestasi? Saya kan mau kalau anak saya pintar matematika, IPA, Bahasa Inggris, atau pelajaran-pelajaran lainnya. Pokoknya anak saya harus berprestasi”

Ayah-Bunda, Papa dan Mama wali murid ….
Mari kita perjelas dulu, apakah prestasi itu?

Rata-rata orang tua menganggap anaknya berprestasi bila tiap semester meraih juara kelas atau lulus sekolah dengan nilai sempurna.

Oke, kalau definisinya begini, pertanyaan saya: kalau sudah begitu, mau jadi apa?
Mungkin jawabnya, “jadi membuat bangga orang tua”
Pertanyaan saya lagi, “kalau sudah bangga, terus apa?”
Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus terus kita ajukan, karena hidup adalah untuk mencari tujuan. Selama tujuan itu belum didapat, kita belum benar-benar hidup.

Sebaiknya, tanyakanlah pada si anak:
“kamu mau jadi apa, Nak? Apa pun cita-citamu, jadilah yang terbaik di bidang itu. Apabila kamu ingin jadi petugas dinas kebersihan sekalipun, lakukanlah, asalkan kamu menjadi yang terbaik di bidang tersebut. Jadilah petugas yang membuat kota-kota di Jepang, bahkan ikan koi bisa hidup tenang dalam selokan tanpa harus tercemari oleh sampah rumah tangga.”

Jadi, prestasi pertama bagi seorang anak adalah menemukan tujuan hidup atau profesi impiannya.
Selanjutnya, prestasi adalah pencapaian terbaik dalam hal yang paling kita sukai. Menjadi yang terbaik dalam bidang yang kita pilih, itulah prestasi sejati.

Dan, ini tak ada kaitannya dengan nilai-nilai di sekolah. Pencapaian nilai di sekolah itu adalah pengkerdilan atau penyesatan prestasi.

Bagaimana seharusnya prestasi anak itu?
Anak yang berprestasi adalah anak berbahasa dengan bahasa Indonesia yang baik dan tidak pernah menggunakan kata “Elu dan Gue”, juga bahasa-bahasa slank lainnya. Kemudian responsif jika dimintai pertolongan oleh orangtuanya, dan sering membantu pekerjaan rumah tangga, mulai dari menyapu, mengepel, mencuci, hingga menyetrika.

Kemudian anak yang jujur adalah prestasi berikutnya, apa Ayah-Bunda tidak bahagia jika memiliki anak yang jujur dalam kata-kata dan perbuatan? Pernah saya melihat dua anak Al-Fawwaz berjalan pulang sekolah kemudian mereka menemukan uang. Salah seorang mengambilnya, lalu seorang lainnya mencegah.

“jangan pernah mengambil sesuatu yang bukan milik kita apapun alasannya”. Subhanallah, apa Ayah-Bunda tidak bangga memiliki anak seperti itu?

Pun ketika acara Open House sekolah SMPIT Al-Fawwaz ketika salah seorang anak mengajak jajan temannya, kemudian akan mentraktirnya jika mau menemaninya. Anak itu tidak pernah mau menerima pemberian uang dari orang lain yang tidak jelas peruntukannya. Dan, inilah sikap awal antimengemis dan korupsi. Mereka juga anak-anak yang taat aturan sekolah.

Dalam bergaul mereka selalu mengajak teman-temannya untuk berbuat baik dan ini mampu mengubah sikap dan perilaku beberapa teman mereka yang kurang baik.

Kemudian siapa yang tidak senang kalau anaknya gemar mengaji, dan mengajinya tanpa disuruh, kemudian sholat wajib tepat waktu. Artinya prestasi anak ini sangat gemilang sekali. Kemudian, mana lebih berprestasi, berprestasi di mata Allah atau berprestasi dengan nilai-nilai yang besar?
Sekali lagi, apa Ayah-Bunda masih merasa anak Anda tidak berprestasi? Apakah masih tidak bangga?

“maksud saya bukan prestasi yang itu, tapi prestasi semisal jadi juara kelas, atau juara umum di sekolah atau juara-juara lainnya?”

Prestasi sesungguhnya dalam kehidupan itu adalah berhasil memiliki etika perilaku moral, seperti beberapa hal yang telah disebutkan sebelumnya. Sementara prestasi-prestasi lainnya yang mungkin sering menjadi kebanggan orangtua, adalah prestasi SEMU.

Prestasi semacam itu hanya diingat orang sementara waktu dan akan terlupakan seiring dengan berlalunya waktu. Prestasi-prestasi semacam ini kelak hampir tidak berdampak apapun baki kesuksesan hidup, juga di kehidupan orang lain.

Sementara keberhasilan dalam kehidupan sebenarnya sangat bergantung pada etika, perilaku moral, apakah kita jujur dan bisa dipercaya. Sedangkan kepintaran itu mudah dilatih, dan jika tekun berlatih apapun bisa kita lakukan dengan baik dari waktu ke waktu.

Lucunya saat ini kita berada pada zaman dengan jumlah tenaga kerja melimpah (karena banyak jumlah pengangguran), tapi seolah sulit mencari tenaga kerja. Kenapa? Karena susah mencari orang baik, jujur, dan bisa dipercaya.

Jadi, saya kira tidak masalah jika Ayah-Bunda memiliki perbedaan persepsi dengan saya mengenai prestasi seorang anak. Boleh-boleh saja menekankan prestasi ranking di kelas. Akan tetapi, tidak semua anak menyukai semua pelajaran di sekolah. Tapi pilihlah salah satu dan fokuskanlah. Mari kita belajar dari potret bangsa yang mengagungkan prestasi-prestasi semu, ketimbang prestasi sejati, yakni etika, perilaku, dan moral. Lihat saja bagaimana potret bangsa kita sekarang.

Dalam pengamatan saya selama ini, dari buku-buku yang saya abaca mengenai orang sukses malah kebanyakan dari anak yang dianggap bermasalah dan gagal di sekolah (tidak berprestasi), tetapi mereka malah menjadi anak-anak yang luar biasa berprestasi! Kok, bisa?

Pada akhirnya, jauh lebih penting membangun etika, perilaku, atau karakter anak, terlebih dahulu kita bantu mereka menemukan potensi emas masing-masing yang sudah dibawa sejak lahir. Itulah resep utama dalam membimbing anak-anak.

Yang menarik dan perlu disadari oleh kita semua adalah, setiap anak sesungguhnya sudah membawa misi hidupnya masing-masing, berikut potensi, minat, dan bakatnya. Kita tinggal menemukan dan menyalurkan saja agar mereka kelak menjadi yang terbaik di bidangnya. Namun, tanpa etika, perilaku, moral, atau akhlak yang baik, semua prestasi yang diraihnya akan hancur dalam sekejap.

Lihatlah sekarang banyak mempertontonkan hal yang tidak beretika dan tidak bermoral. Tidakkah kita mengambil pelajaran dan hikmah dari semua kejadian ini? Memang tidak mudah untuk memahami ini dan mengubah mindset yang sudah ditanamkan oleh orangtua dan system sekolah kita selama bertahun-tahun tentang arti prestasi yang sesungguhnya bagi anak.


Jumat, 06 November 2015

Bagaimana Agar Anak Semangat Sekolah?

Bagaimana Agar Anak Semangat Sekolah?

Ini adalah tahun kedua saya menjadi wali kelas di SMPIT Al-Fawwaz Cikarang. Beragam anak saya ketahui karakternya. Terlebih sekarang mereka adalah remaja alias ABG. Masa ini adalah masa peralihan di mana sifat dan sikap mereka banyak berubah. Maka dari itu saya sering mendengarkan curhatan-curhatan para orangtua murid kepada saya. Seperti pagi ini.
Kriiiiiing..kriiiing…kriiiiing tiba-tiba ketika saya sisiran siap-siap berangkat ke sekolah handphone saya berbunyi.
“Assalamualaikum, Mr. Apen ini anak saya tidak mau sekolah. Gimana ini?” kata seorang ibu dalam telepon tersebut.
“Iya kenapa, Bu?” Tanya saya balik.
“Saya juga tidak tahu. Akhir-akhir ini saya sering berantem pagi-pagi sama anak saya. Susah banget kalau di suruh sekolah”
“Makin hari makin malas saja. Sebel saya jadinya” lanjutnya.
“Masa tiap pagi saya harus menggedor kamarnya sampai bangun membuka pintu. Belum lagi dia lamaaaaaa…sekali di kamar mandi.”
“Ini bagaimana, Mister?”
Yang bisa saya katakan: anak malas pergi sekolah adalah suatu AKIBAT. Karena itu, pasti ada penyebabnya. Ya, kan? Ada sebab, ada akibat. Ilmuwan Isaac Newton menyebutnya “ aksi dan reaksi”. Nah, tugas orangtua adalah mencari penyebabnya melalui proses telusur.
Proses telusur memerlukan kedekatan orangtua dan anak. Bila tidak dekat, bagaimana anak mau menceritakan penyebabnya? Hati-hati, jangan-jangan selama ini anak ingin bercerita, tetapi kita, orangtua yang telah memblokirnya.
Misalnya, anak berseloroh, “guruku galak banget, deh …”orangtua memblokir dengan berkata, “makanya jangan bandel. Kalau enggak bandel ya pasti enggak akan dimarahi guru.”
Atau anak mengeluh,” pelajaran matematika tuh nyebelin banget, sih!”
Orangtua lagi-lagi memblokir dengan, “kamu saja yang malas belajar kali”
Kalau begini, anak pasti enggan bercerita apa-apa pada ayah-bunda. Baru ngomong satu kalimat, ia sudah dinasihati dan dituding. Apalagi kalau cerita satu paragraf? Lebih baik tutup mulut deh, mungkin begitu pikir anak.
Jadi bagaimana orang tua  bisa melakukan proses telusur untuk mengungkap kenapa anak malas ke sekolah?
Bagaikan seorang wartawan, “wawancarailah” mereka. Bertanyalah pada anak tanpa pretensi, kepentingan, menuduh, apalagi menghakimi. Dengan begitu, mereka akan bicara terbuka dengan nyaman pada ayah bunda.
Jika anak kita kebetulan bertipe terbuka (apalagi jika hubungan Anda dan anak cukup dekat), biasanya dengan pertanyaan terbukapun ia akan langsung terpancing untuk bercerita banyak. Namun jika anak ayah bunda bersikap tertutup, pancinglah ia dengan pertanyaan pilihan ganda.
Suatu ketika saya pernah membantu seorang anak yang agak tertutup, katakanlah namanya Althav. Maka saya wawancarai ia dengan pertanyaan pilihan ganda untuk memancing ia bercerita.
“Benar Thav, kamu malas sekolah?” saya bertanya
“Iya, sebal” jawabnya singkat
“Yang bikin sebal berapa orang? Sedikit atau banyak?” pancing saya.
“Banyak” ia menjawab singkat.
“Wah, banyak ya. Siapa saja tuh? Guru, ya?”
Ia mengangguk.
“Gurunya banyak atau sedikit?
“Dua”
“Oooh… dua orang. Kalau teman ada juga, enggak?” Althav mengangguk lagi.
“Berapa orang?”
“Banyak”
Sedikit demi sedikit saya mengorek keterangan darinya. Akhirnya terungkaplah penyebab utamanya mengapa Althav malas-malasan sekolah, yakni di-bully oleh sesama siswa. Seram, ya? Padahal sekolah tempat Althav belajar adalah sekolah keren, terkenal, dan mahal pula. Sekolah mahal memang bukan ajminan, ternyata, ya?
Setelah berhasil memancing Althav cerita, saya tidak memberika solusi. Nah, ini satu lagi kunci bicara pada remaja: tak perlu memberi solusi secara terang-terangan, tetapi berikanlah umpan . bila kita member solusi, kita berasumsi bahwa ia bodoh. Padahal anak-anak kita sangat cerdas dan paling tahu solusi masalahnya sendiri.
“Jadi, menurut kamu jalan keluarnya bagaimana, Thav?” tanya saya akhirnya.
“Hmm….” Ia tampak berpikir.
“apa kamu ingin pindah sekolah?”
“Hmmmm….”
“Atau kamu ingin pindah kelas?
Althav pun berpikir dan mengukur dirinya.
“Aku enggak mau pindah sekolah. Nanti harus penyesuaian diri lagi kalau pindah. Belum tentu enggak ketemu hal begitu lagi” jawab Althav setelah berpikir panjang.
Ujungnya Althav memutuskan untuk minta pindah kelas  dan belajar bela diri.
Setelah masalahnya terungkap dan anak kita sudah mendapatkan solusi untuk dirinya sendiri, selanjutnya Ayah-Bunda cukup cek dan cek ulang. Tanyakan sesekali padanya, “bagaimana di sekolah? Kamu bisa mengatasi, enggak?”
Saya ingat Larry King, pembawa acara terkenal Larry King Live di CNN berkata, “komunikator yang baik bukan mereka yang pandai bicara, melainkan mereka yang pintar bertanya”
Jadi, ketika berkomunikasi dengan anak-apalagi saat melakukan proses telusur-yang perlu Anda lakukan adalah bertanya, bertanya, dan bertanya. Namun, bertanyalah tanpa menghakimi anak. Satu kata seperti “kan” hanya akan membuat anak menutup diri.
Misalnya, “kamu pasti begitu, kan?” atau “pasti deh, kamu blab la bla….” Ini pilihan kata yang menghakimi. Jadi, aturlah agar pertanyaan, kalimat, nada, dan bahasa tubuh Anda tidak membuat anak merasa diadili. Dengan begitu, ia akan terbuka pada orangtuanya.



Selasa, 03 November 2015

Jadilah Orang Proaktif untuk Sukses

Jadilah Orang Proaktif untuk Sukses

Menjaga sikap atau perilaku tentu memerlukan berbagai latihan, kdang yang muncul dalam diri kita adalah sikap-sikap reaktif yang merugikan diri sendirir.  Sikap proaktif makin sulit diimplementasikan dalam situasi yang kritis, genting dan mendesak.  Namun hakikatnya Anda tetap mampu dan sanggup menjadikan sikap proaktif sebagai habits sehari-hari walau keadaan gawat dan ekstrim sekalipun.  Bagaimanapun sikap proaktif jauh lebih berhasil guna daripada sikap reaktif, dalam pengembangan diri Anda dan orang lain.
Dalam tahap lanjut dijelaskan bahwa perbedaan antara sikap proaktif dan sikap reaktif dibedakan dari fokus yang dilakukan.  Ada 2 jenis lingkaran dalam sikap hidup Anda, berdasarkan Buku Stephen R Covey, 7 Habits, yakni lingkaran pengaruh dan lingkaran kepedulian.
1.  Lingkaran pengaruh adalah hal-hal yang berada dalam pengaruh Anda sendiri dan dapat Anda kendalikan, manfaatkan atau daya gunakan.  Hal yang menjadi pilihan Anda baik langsung atau tidak langsung.  Hal-hal dalam lingkaran pengaruh diantaranya adalah : perkataan, sikap tubuh, tindakan, gerakan tangan dan kaki, sorot mata, suasana hati, perasaan dan emosi serta lainnya.  Hal yang mampu Anda pengaruhi sebagai pilihan adalah hal dalam lingkaran pengaruh.
2.  Lingkaran kepedulian adalah hal-hal yang berada di luar jangkauan Anda untuk dapat dipengaruhi dan mengikuti kehendak Anda.  Anda tidak mampu mempengaruhi sedikitpun Hal tersebut untuk sesuai dengan keinginan.  Hal-hal dalam lingkaran kepedulian hanya bisa disikapi dengan cara Anda membawa diri sendiri.  Semua faktor diluar kuasa Anda adalah hal yang masuk dalam Lingkaran kepedulian, seperti atasan, bawahan, rekanan, kolega, cuaca, jalan, lingkungan dan lainnya.  Kemampuan dan kemauan Anda menjaga sikap diri sendiri berdampak terhadap luas lingkaran kepedulian yang mengecil dan memperbesar lingkaran pengaruh.
Fokus sikap proaktif adalah pada diri sendiri, untuk menyesuaikan perbedaan terhadap lingkungan.  Sikap proaktif mengajak Anda menjadi pribadi dan individu yang adaptif, kreatif dan komunikatif.  Berikut contoh perbedaan implementasi sikap proaktif dan sikap reaktif dalam kehidupan sehari-hari demi sukses Anda:
a.  Inisiatif.
Sering Anda mendengar bahwa orang proaktif adalah tipe orang yang punya inisiatif dalam pekerjaannya.  Inisiatif adalah kemampuan seseorang untuk mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan keadaan yang terjadi dari sebuah pekerjaannya di masa datang.  Inisiatif adalah sikap tidak menunggu apa yang akan terjadi sebelum bertindak.  Inisiatif adalah tindakan yang dilakukan berdasarkan nilai yang telah dipikirkan dengan cermat.  Sedangkan orang reaktif akan menunggu orang lain, lingkungan dan kondisi untuk menggerakkannya.
b.  Tanggung Jawab.
Sikap proaktif memiliki pandangan bahwa keadaan tidak akan mampu mengubah hasil pencapaian jika tidak melakukan perubahan sendiri.  Tanggung jawab adalah perbedaan signifikan antara sikap proaktif dengan sikap reaktif.  Sikap reaktif akan menyalahkan keadaan, lingkungan dan faktor lainnya, dengan mencari-cari alasan.
c.  Solutif.
Sikap proaktif mampu memberikan pemecahan yang beragam dalam menghadapi permasalahan.  sehingga tidak menjadi sebuah solusi tunggal dalam mengantisipasi kemungkinan yang terjadi.  Sikap proaktif mempunyai banyak alternatif solusi dari sebuah problematika, dengan analisa dan perhitungan matang.  Sikap reaktif cenderung kaku dengan solusi, berpikir singkat dan kurang perhitungan atau tergesa-gesa.
d.  Positif.
Setiap kerangka berpikir selalu diasumsikan dengan hal positif dan menjauhkan diri dari fokus pada kelemahan.  Inilah perbedaan lain sikap proaktif dan sikap reaktif.  Berpikir positif atau optimis dalam tindakan menjadikan orang dengan sikap proaktif makin handal melakoni tahapan sukses.

Sikap proaktif berarti menyadari bahwa Anda memiliki kebebasan memilih, dan memfokuskan diri pada lingkaran pengaruh untuk memperkecil lingkaran kepedulian.  Orang proaktif menomorduakan mood, perasaan, emosi, impulsif dan mengutamakan nilai-nilai hidup.  Jadilah orang proaktif untuk sukses.