My FLP, My First Love

Senin, 18 April 2016

Bagian Awal Novel "Cinta Dalam Diam"

Copenhagen, Juni 2007
            Inilah sore terakhir yang ia habiskan di tepi pelabuhan Ny Havn sebelum bertolak ke Indonesia. Melihat kapal-kapal merapat di antara kanal-kanal seperti kebiasaannya, setelah menyusuri jalan menikmati otentiknya gereja-gereja dan bangunan-bangunan kuno khas kota Copenhagen. Ia akan merindukan kota ini. Kota yang empat tahun ini ditinggalinya.
            Ia tahu perasaannya bahagia, berbulan-bulan ia menunggu untuk pulang ke Indonesia. Berkarir di tanah air, membawa sedikit ilmu dari negara orang untuk dimanfaatkan di bumi sendiri. Bukan negara orang sebenarnya, karena negara ini tempat papanya berasal.
            Ia tahu perasaannya, perasaan yang meletup-letup ingin bertemu papa-mamanya, dan tentunya rindu yang tak tertahan pada Kinanti. Namun entah mengapa ia berat meninggalkan kota ini, terlebih meninggalkan opa dan omanya yang sudah sepuh.
            Kota ini sudah menjadi rumah kedua untuknya. Apalagi ini bulan Juni, musim panas, kota ini sangat indah untuk bersepeda, seperti yang tiap hari dilakukannya. Melihat perlombaan renang yang rutin tiap tahun, berfoto di patung Little Mermaid, atau berbelanja di Stroget sambil berjalan kaki.
             Dulu, pada awal-awal kuliah hingga tiga tahun lamanya, sempat ia tidak nyaman dengan kota ini. Tidak lain karena hinaan dan ejekan selalu menampar hatinya tiap hari. Karena ialah muslimah yang memakai kerudung syar’i. Islam teroris, Islam menyiksa umatnya, Islam mengekang hak-hak perempuan, Islam adalah penjahat terselubung, begitu kata mereka. Banyak orang bertanya padanya, kenapa memakai tutup kepala? Apa tidak panas? Atau mungkin botak? Ia hanya tersenyum pada mereka dan menjelaskan seperlunya, toh mereka tidak akan mengerti.
            Puncaknya peristiwa September 2005 ketika sebuah Surat Kabar Denmark, Jyllands-Posten, melakukan penistaan terhadap Rasulullah, mereka menerbitkan 12 karikatur Nabi Muhamad sehingga memicu kemarahan Muslimin sedunia. Umat Islam pun geram dan segera memboikot surat kabar tersebut, bahkan menyeret awak redaksinya ke meja hijau. Kebebasan berekspresi menjadi alasan Barat untuk bebas mempublikasikan penistaan Islam dan penghinaan terhadap utusan Allah yang mulia.
            Namun, setelah itu terbitlah kebahagiaan, siapa sangka Islam justru makin menggeliat di Denmark pasca penistaan tersebut, khususnya di ibu kota Denmark, Copenhagen. Banyak warga penasaran dengan Islam, kemudian mereka jatuh hati dan banyak yang memeluk Islam. Sejak itu, kehidupan berubah, ia betah hidup di sini, memiliki banyak teman muallaf, salah satunya Catherine. Catherine menjadi sahabat terbaiknya, dan juga ia menjadi muslimah yang taat. Berkerudung, bertata karma muslimah, menjadi muslimah sejati. Islam tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Semua berjalan indah. Namun, semua itu tidak bisa menahannya untuk tinggal lebih lama di sini. Ia harus pulang ke Indonesia.
            Matahari tak urung tenggelam. Semburatnya membias di antara kapal-kapal yang berlalu-lalang di tepi kanal. Hari mulai petang. Burung-burung berkelebatan di atas air kanal yang jernih. Ia hanya memandangnya takjub. Sungguh Allah telah menciptakan sore yang indah. Matanya yang sayu nun jauh menatap ujung kanal. Ah, Copenhagen memang selalu indah di matanya. Bayangannya mulai redup. Waktu segera maghrib, ia harus segera pulang. Sholat berjamaah bersama Opa dan Oma adalah memiliki kebahagiaan tersendiri.
            Selepas sholat, ia benar-benar sibuk pada malam terakhirnya di kota ini. Membereskan baju-baju, buku-buku, serta dokumen-dokumen penting. Sesekali ia memandang langit, melihat panorama Copenhagen pada malam hari. Menghirup udara Copenhagen, sebelum esok ia meninggalkannya.
            Pintu di balik punggunya berderit.
            “Biar Oma bantu beresin bajumu ke koper!”
            “Tidak usah, Oma! Biar aku saja” Ia tahu Oma akan sedih ia pulang ke Indonesia. Lihat saja mata perempuan yang hampir berkepala tujuh itu, seakan ia tidak menginginkannya pulang ke Indonesia. Berharap tinggal di sini menemaninya bersama suaminya.
            “Sering-sering main ke sini, jangan lupa! Oma pasti rindu kamu” Ia tersenyum tipis. Seolah, ia akan lupa kota ini, padahal tidak mungkin.
            “Pasti, Oma. Oma jangan khawatir, pasti aku akan sering main ke sini” ia tersenyum lagi. Oma membalas senyumnya.
            “Oma sudah siapkan makan malam. Ayo, makan dulu!” Oma keluar. Menyiapkan makanan untuk makan malam. Dari balik pintu Opa Smith terlihat siap untuk makan malam.
            Rencananya, setelah pulang ke Indonesia, ia akan bekerja di perusahaan papanya. Perusahaan yang sudah lima belas tahun berdiri. Papanya membangun bisnis itu benar-benar dari nol hingga sebesar sekarang ini. Diva ingin hidup di sana, bekerja di sana, berkarir di sana, dan yang paling utama, ia bisa dekat dengan keluarga. Apalagi ia suka rindu pada Kinanti. Sedang apa ya Kinanti sekarang? Lamunnya.
            Terakhir ia pulang liburan tahun baru lalu. Melewati tahun baru di Jakarta melihat pesta kembang api bersama keluarganya lalu keesokan harinya pergi ke Puncak melewati beberapa malam dengan kebersamaan, barbeque-an, bercanda-canda, karena ia tahu ia akan mendapat momen-momen itu sangat jarang. Maka dari itu, masa liburan adalah waktu yang dinantinya karena ia bisa melihat Kinanti tersenyum, melihatnya bahagia. Ia tahu Kinanti akan sangat bahagia bila bertemu dengannya, dekat dengannya. Kadang anak itu membuatnya terharu, terharu karena keadaannya.
            “Ayo, Diva makan!” Oma memutuskan lamunannya.
            “Ja (iya), Oma!”
            Ia menuju meja makan.
            “God aften(selamat malam), Opa!”serunya. “God aften. Mari kita makan!” Opa menyilahkannya lalu mereka bertiga makan malam. Menikmati kebersamaan untuk terakhir kali. Oma dan Opa sangat menyayanginya, karena ialah cucu pertamanya, tiada cucu lain selain Diva dan Kinanti, karena mereka hanya punya satu anak, yaitu Tuan Pieter, papa Diva.
            “Mange tak!(terimakasih). Enak sekali makanannya. Oma memang jago masak” puji Diva pada Oma.
            Makan malam selesai. Diva minta diri untuk keluar,mencari angin. Tempat favoritnya adalah halaman rumah, karena di situ ada sebuah ayunan besi tempatnya menikmati langit, menyapa bintang atau bertegur sapa dengan bulan. Ayunan itu adalah ayunan ketika papanya kecil, pun juga itu adalah tempat favorit papanya jika sedang ngambek. Begitu kata omanya.
Treeeett, treeeett. Handphone-nya bergetar. Ada sms masuk.
Kau pulang besok? Kami tidak sanggup kayaknya tanpamu. Kami masih butuh orang sepertimu di sini untuk membimbing kami.
Catherine yang mengirimnya. Ia membalasnya kemudian.
Jangan bilang begitu. Kalian masih tetap bisa belajar. Belajar dari buku, sharing, internet, dari mana saja kalian bisa belajar.
Pesan terkirim. Tidak lama balasannya muncul.
Tapi kami butuh bimbinganmu. Banyak dari sahabat-sahabat di sini tertarik dengan Islam, namun pengetahuanku belum cukup untuk menjelaskan kepada mereka.
Diva membalas lagi.
Silahkan kalian bertanya kepada Syaikh Ahmad. Insya Allah beliau akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan kalian.
Dibalas lagi.
Tapi…..
Terampil sekali Diva menyentuh layar Handphone touch screen itu.
Aku pasti kembali. Jangan khawatir!
Dua menit kemudian dibalas lagi.
Janji?
Diva tersenyum.

Trust me. I will

Tidak ada komentar:

Posting Komentar