Malam
itu 31 oktober. Malam yang mencekam di Kaliurang. Malam yang bisu kecuali pekikan
burung-burung hantu yang cukup merindingkan bulu roma. Aku dan Joni, kawanku,
menyisir bukit Plawangan menuju pesanggrahan dengan sepeda motor tua keluaran
tahun 70-an. Malam yang gelap, pekat, jalan pun tak bisa di tembus kecuali
dengan lampu motor. Suasananya horor. Setiap sudut jalan, pohon-pohon raksasa
berdiri gagahnya dan takut-takut itu adalah genderuwo. Kami berusaha tak
menakuti diri sendiri. Membaca ayat-ayat sekenanya. Tapi tetap saja,
takut-takut ada kuntilanak nebeng di belakang, atau pocong mencegat di depan,
atau suster yang ngesot-ngesot mengejar motor kami.
“
Jon, kebut bawa motornya. Serem suasananya “ mandatku.
“
Ini juga sudah pol gasnya “ Tukas Joni dengan muka yang menengok. Kulitnya yang
hitam legam membuatnya tertelan malam. Hanya gigi-gigi tonggosnya menyala-nyala
di antara malam pekat itu. Motor itu telah di gas pol. Tapi larinya kayak keong
gemuk pincang berjalan di atas lumpur.
Malam
senyap. Jam sekitar pukul satu dini hari. Tak ada seorang pun tersisa
memelekkan matanya. Semua sudah di alam mimpi masing-masing. Kupegang Joni
merinding. Kebiasaan buruknya. Kalau sedang ketakutan. Ia akan merinding gila,
bulu romanya seperti sedang dangdutan. Goyang sana-goyang sini. Lalu lihat
bokongnya, bergerak-gerak menahan kentut, walaupun dengan kawan dekat ia masih
menjunjung tinggi tata krama, menghargai hak asasi manusia - taat pada adat istiadat - takut pada
mitos-mitos neneknya – demi menjaga harkat dan martabat dirinya - juga
menyelamatkan mukanya dari segenap umat manusia yang akan menggunjingnya: maka
ia tidak buang angin sembarangan. Dan kalau sudah meletus, baunya bisa meracuni
ayam se-RT.
Motor
tua keluaran tahun 70-an itu suaranya sudah seperti kentut Joni, merepet
timbul-tenggelam, dan kalau di tengok knalpotnya sudah seperti pantat ayam
senewen yang mau mengerami telurnya. Dekup jantungku belum karuan. Ini seperti
uji nyali. Mungkin kalau boleh memilih, Joni akan melambaikan tangan saja
karena bulu romanya bukan tingkat dangdutan lagi tapi sudah ke tingkat dugem.
Nafas pun tersengal-sengal ingin cepat sampai di pesanggrahan. Tapi itu masih
jauh.
“
Wahh gaswat, muturnya muguk. Sudeh senen-kemis suerenya “ ngomongnya tak karuan
saking bergetarnya tubuh gempalnya itu. Keringat dingin mengucur di dahi yang
hitamnya bukan main.
“
Terus bagaimana, nih, Jon? Mana suasannya kayak di film Suzzana lagi “ tukasku.
“
Iya, takut-takut ada kuntilanak mampir ke sini atau pocong yang sengaja nyamar
jadi tukang benerin motor “ khayalannya ngelantur ke Ki Joko Sableng, dia
adalah kuncen makam di kampungnya yang konon bertemu kuntilanak dan pocong yang
sengaja nyamar jadi tukang bakpia kesukaan aki-aki peyot itu.
“
Tenang, masih ada kawanmu ini “ Padahal aku sendiri kalau ada kuntilanak atau
pocong akan ambil langkah seribu. Maklum badanku kurus hingga lariku cepat di
banding Si Joni yang badannya kayak karung goni di isi beras sekwintal larinya
macam motor tua ini.
Joni
mencoba memeriksa motor itu. Tak paham sebenarnya masalah otomotif. Terus untuk apa di periksa kalau tak paham?
“
Aku tahu kemampuanmu, Jon. Tak perlu di lihat motor itu. Toh, sampai
nenek-nenek disko kelenger minum air pun tak akan jalan motor itu “
“
Aku ingin menunjukkan kepadamu bahwa inilah aku sebagai lelaki sejati apapun
masalah dalam hidup ini harus di jalani dengan keikhlasan, ketabahan, dan penuh
dengan rasa syukur “
“
Lantas apa hubungannya dengan motor mogok?”
Ia
hanya nyengir, garuk-garuk pantat. Gigi-gigi tonggosnya unjuk gigi.
Menyala-nyala.
“
Go, Argo. Itu apa, Go, putih-putih? “ panik.
“
Mana? “
Aku
menengok. WAWWWWW. Kuntilanak. Itu kuntilanak. Rambutnya hitam panjang terurai.
Busananya putih dan mukanya putih lalu matanya hitam legam berbentuk lingkaran.
Setidaknya itu sama persis seperti kuntilanak yang kulihat di film-film. Kami
panik. Kuntilanak itu mendekat. Semakin mendekat.
“
Lariiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii “ pekikku.
Joni
malah sibuk dengan motor tua kesayangannya itu. Tak tega ia meninggalkan
soulmate-nya itu. Ia berprinsip susah-senang harus bersama. Tapi ini situasinya darurat, bukan? Ah,
ia mendorong sekuat tenaga motor itu. Namun itu masih seperti keong gemuk
pincang. Kuntilanak menangkapnya.
“
Hihihihihihiihihihihiihhi,,hehehehehehehehehhe,,hihihihiihihihihihih,
hehehhehehehe,,hihihihihihihihihiihi “ kuntilanak itu tertawa kegirangan kayak
anak kecil di kasih balon. Joni makin ketakutan. Bulu romanya sudah tingkat
rocker. Badan karung goninya dua derajat celcius. Tangannya berusaha mengelak
namun kuntilanak itu memencet tangannya dengan kuku-kuku yang belum di pedicure-menicure itu.
Joni
makin panik. Tak apalah ia tak menjunjung tinggi tata krama, tak apalah ia tak
menghargai hak asasi manusia - tak
apalah ia tak taat pada adat istiadat – tak apalah ia tak takut pada
mitos-mitos neneknya – tak apalah ia tak menjaga harkat dan martabat dirinya – tak
apalah ia tak juga menyelamatkan mukanya dari segenap umat manusia yang akan
menggunjingnya. Tapi sudah tak tahan lagi. Preeeeetttt, preeeeeet, preeeeeeet,
preeeeeeettt, cuuuuussssssss.
Kentutnya
cetar membahana. Baunya mengelus-elus mematikan kuntilanak itu. Kuntilanak itu
kelabakan. Kelihatannya mau semaput. Lihat saja ekspresinya, hidungnya mengendus-endus
macam anjing pelacak. Kuntilanak itu sempoyongan kayak habis menenggak sepuluh
botol anggur. Berputar-putar tak karuan. Berdisko-disko dengan suara kentut
itu. Kuntilanak itu tumbang.
“
JON, CEPAT LARI ! “ pekikku di kejauhan.
Joni
terbirit-birit dengan motor soulmate-nya itu. Aku berusaha mencari keramaian
dan tempat aman agar jauh dari gangguan kuntilanak. Namun tempat itu tak
kutemukan. Jam sudah menunjukan pukul 2.00 pagi. Nafas kami tersengal-sengal
seperti habis lari Jakarta-Singapore. Memburu. Dekup jantung kian tak teratur.
Bergema hendak copot.
“
Kebiasaanmu itu berguna juga “
“
Berguna sih berguna. Tapi aku juga mau mati di racuni gas alam itu “ dengan
nafas senin-kamisnya ia bicara.
“
Sepertinya kuntilanak itu masih akan mengejar kita “
“
Kita harus menyusun strategi sejitu mungkin agar kuntilanak itu pergi seperti
strategi bangsa pribumi mengusir para kumpeni-kumpeni. Mau ditaruh di mana
harga diri kita bila tak bisa mengusirnya? “ lagaknya selalu bawa-bawa harga
diri.
Malam
masih mencekam. Asap-asap mengalun entah dari mana datangnya. Burung gagak
bernyanyi horor hingga bulu roma kami kembali berdiri. Sepi tetap
membayang. Langit pun membisu. Tak ada
satu pun bintang yang genit berkedip atau bulan yang memantulkan sinar kemari.
Tak ada cahaya sedikit pun. Semua gelap. Kecuali kalau Joni nyengir.
“
Jon, Jon, Jon, lihat itu Jon! Kuntilanak yang tadi. Dia membawa gank-nya. Wahhh, gawat ada dua pocong di
situ menuju ke mari “ ujarku cepat.
“
Pikirkan sesuatu, ahaaa kau bawa knur layangan, kan? “
“
Enggak “ kataku.
“
Lah tadi sore main layangan pakai apa? “ Joni meyakinkanku.
“
O iya ya “ malah aku yang jadi sedikit rada-rada.
Aku
mengambil knur dari dalam tas. Kami buru-buru mengaitkan knur itu di antara
pohon yang berseberangan jalan. Perangkap siap menjerat dua ikat pocong dan
seekor kuntilanak. Kalau kami bisa menaklukan mereka, bukankah ini suatu prestasi?
Kami akan masuk ke dalam buku World
Record sebagai penangkap setan terulung. Akan menjadi sesuatu yang keren.
Kami akan masuk TV terus di foto-foto, di kasih penghargaan, pembuatan rekor
baru, di sanjung banyak orang, memiliki banyak followers di Twitter, jalan-jalan keliling dunia menceritakan
pengalaman kami, terus menjadi bintang tamu di acara Talkshow, menjadi orang kaya baru. Ahh, indah betul nampaknya.
Ngimpi.
“
Jon, Jon, tuh pocong satu kenapa jatuh? “ aku heran tiba-tiba pocong jatuh di
tengah jalan.
“
Siapa yang buang hajat sembarangan, ya? “
“
Memangnya kenapa? “
“
Itu pocong terpeleset gara-gara ada orang buang hajat sembarangan. Lihat saja
kakinya kuning begitu “
Hahh?
Aku tertawa cekikikan dalam hati. Satu hal yang Jono belum tahu dariku : Aku
suka buang air sembarangan kalau lagi ketakutan. Aku diam-diam saja takut-takut
harga diriku tercoreng gara-gara itu. Adem ayem. Sebenarnya gatal dari tadi
belum menemukan empang atau kali yang bisa di pakai untuk membersihkannya.
“
Wahhh, Go, gawat. Ada motor lewat. Kayaknya ketakutan melihat pocong dan
kuntilanak itu. Motor itu menuju kemari. Ngebut lagi bawanya “
Motor
itu melaju dengan kecepatan tinggi. Mungkin penunggangnya takut di kejar pocong
dan kuntilanak itu. Wuuuuuuuuuuuuuuussssssssssssssssssssss. Gubrak. Motor itu
melaju sendiri tanpa ada yang mengendarai. Penunggangnya kelojotan nyusruk di
got. Waduuuh gawat perangkap salah sasaran. Pocong dan kuntilanak itu mendekat.
Kami panik. Harus dengan cara apa menaklukan mereka.
“
Hihihihihihiihihihihiihhi,,hehehehehehehehehhe,,hihihihiihihihihihih,
hehehhehehehe,,hihihihihihihihihiihi “ kuntilanak itu rupanya masih bisa
tertawa setelah di basmi dengan kentut Si Joni.
“
Kita lawan mereka, Jon ! “ seruku.
“
Bersatu kita terguh bercerai kita enggak teguh. Seraaaaaaaaaang ! “
Joni
ke arah kuntilanak itu. Sementara aku menuju pocong jelek satu ini. Kita siap
bertempur. Apapun hasilnya, ini demi harkat dan martabat kaum manusia atas
pengganguan kaum setan. Menang berarti jaya, enggak menang berarti, ya enggak
jaya.
Joni
nyengir di depan kuntilanak itu. Gigi-gigi tonggosnya melesat-lesat cahayanya
menyilaukan kuntilanak itu. Mulutnya menganga, gigi menyeruak, lalu ekspresi
mukanya jelek bukan main. Tak bisa di lukiskan dengan kata-kata mukanya itu,
saking jeleknya. Lalu ia menghembuskan nafas karena dari tadi sesak nafas
bergelut melawan rasa takut. Huuuuuuuuuuhhhhh.
Aneh.
Tiba-tiba kuntilanak itu tumbang. Kelojotan, semaput, pingsan. Aku baru sadar
tiga hal dalam dirinya yang bau : Kentutnya yang bisa meracuni ayam se-RT,
mulutnya yang bisa membuat burung tetangga mendadak sakit, dan keteknya yang
bisa membunuh kawanan nyamuk kalau ia sedang tidur tak pakai baju. Untunglah,
berguna juga bau-bau aneh itu di situasi yang mengerikan ini.
“
JON, AMBIL TAS ITU, JON. MASUKIN KE KEPALA POCONG INI. KITA GEBUKIN RAME-RAME “
teriakku pada Joni.
“
Ampun, Bang, ampun. Jangan gebukin saya “ pocong itu berkomentar ketakutan.
“
Lah kok pocong takut di gebukin? “ aku heran.
“
Kami dari acara Jahil-Jahilan. Lihat, di situ kamera, di sebelah situ kamera,
dan sebelah situ kamera ! “ menunjuk-nunjuk kamera.
Ah,
sial. Kami di kerjain. Joni malah asyik melambai-lambai ke kamera. Mungkin ia
ingin bilang : Mak, Joni masuk TV.
Januari 2013, Apen Sumardi McCalister
Tidak ada komentar:
Posting Komentar