Inilah sore terakhir yang ia
habiskan di tepi pelabuhan Ny Havn sebelum bertolak ke Indonesia. Melihat
kapal-kapal merapat di antara kanal-kanal seperti kebiasaannya, setelah
menyusuri jalan menikmati otentiknya gereja-gereja dan bangunan-bangunan kuno
khas kota Copenhagen. Ia akan merindukan kota ini. Kota yang empat tahun ini
ditinggalinya.
Ia tahu perasaannya bahagia,
berbulan-bulan ia menunggu untuk pulang ke Indonesia. Berkarir di tanah air,
membawa sedikit ilmu dari negara orang untuk dimanfaatkan di bumi sendiri.
Bukan negara orang sebenarnya, karena negara ini tempat papanya berasal.
Ia tahu perasaannya, perasaan yang
meletup-letup ingin bertemu papa-mamanya, dan tentunya rindu yang tak tertahan
pada Kinanti. Namun entah mengapa ia berat meninggalkan kota ini, terlebih
meninggalkan opa dan omanya yang sudah sepuh.
Kota ini sudah menjadi rumah kedua
untuknya. Apalagi ini bulan Juni, musim panas, kota ini sangat indah untuk
bersepeda, seperti yang tiap hari dilakukannya. Melihat perlombaan renang yang
rutin tiap tahun, berfoto di patung Little Mermaid, atau berbelanja di Stroget
sambil berjalan kaki.
Dulu, pada awal-awal kuliah hingga tiga tahun
lamanya, sempat ia tidak nyaman dengan kota ini. Tidak lain karena hinaan dan
ejekan selalu menampar hatinya tiap hari. Karena ialah muslimah yang memakai
kerudung syar’i. Islam teroris, Islam menyiksa umatnya, Islam mengekang hak-hak
perempuan, Islam adalah penjahat terselubung, begitu kata mereka. Banyak orang
bertanya padanya, kenapa memakai tutup kepala? Apa tidak panas? Atau mungkin
botak? Ia hanya tersenyum pada mereka dan menjelaskan seperlunya, toh mereka
tidak akan mengerti.
Puncaknya peristiwa September 2005
ketika sebuah Surat Kabar Denmark, Jyllands-Posten, melakukan penistaan
terhadap Rasulullah, mereka menerbitkan 12 karikatur Nabi Muhamad sehingga
memicu kemarahan Muslimin sedunia. Umat Islam pun geram dan segera memboikot
surat kabar tersebut, bahkan menyeret awak redaksinya ke meja hijau. Kebebasan
berekspresi menjadi alasan Barat untuk bebas mempublikasikan penistaan Islam
dan penghinaan terhadap utusan Allah yang mulia.
Namun, setelah itu terbitlah
kebahagiaan, siapa sangka Islam justru makin menggeliat di Denmark pasca
penistaan tersebut, khususnya di ibu kota Denmark, Copenhagen. Banyak warga
penasaran dengan Islam, kemudian mereka jatuh hati dan banyak yang memeluk
Islam. Sejak itu, kehidupan berubah, ia betah hidup di sini, memiliki banyak
teman muallaf, salah satunya Catherine. Catherine menjadi sahabat terbaiknya,
dan juga ia menjadi muslimah yang taat. Berkerudung, bertata karma muslimah,
menjadi muslimah sejati. Islam tumbuh subur bak jamur di musim hujan. Semua
berjalan indah. Namun, semua itu tidak bisa menahannya untuk tinggal lebih lama
di sini. Ia harus pulang ke Indonesia.
Matahari tak urung tenggelam. Semburatnya
membias di antara kapal-kapal yang berlalu-lalang di tepi kanal. Hari mulai
petang. Burung-burung berkelebatan di atas air kanal yang jernih. Ia hanya
memandangnya takjub. Sungguh Allah telah menciptakan sore yang indah. Matanya
yang sayu nun jauh menatap ujung kanal. Ah, Copenhagen memang selalu indah di
matanya. Bayangannya mulai redup. Waktu segera maghrib, ia harus segera pulang.
Sholat berjamaah bersama Opa dan Oma adalah memiliki kebahagiaan tersendiri.
Selepas sholat, ia benar-benar sibuk
pada malam terakhirnya di kota ini. Membereskan baju-baju, buku-buku, serta
dokumen-dokumen penting. Sesekali ia memandang langit, melihat panorama
Copenhagen pada malam hari. Menghirup udara Copenhagen, sebelum esok ia
meninggalkannya.
Pintu di balik punggunya berderit.
“Biar Oma bantu beresin bajumu ke
koper!”
“Tidak usah, Oma! Biar aku saja” Ia
tahu Oma akan sedih ia pulang ke Indonesia. Lihat saja mata perempuan yang
hampir berkepala tujuh itu, seakan ia tidak menginginkannya pulang ke
Indonesia. Berharap tinggal di sini menemaninya bersama suaminya.
“Sering-sering main ke sini, jangan
lupa! Oma pasti rindu kamu” Ia tersenyum tipis. Seolah, ia akan lupa kota ini,
padahal tidak mungkin.
“Pasti, Oma. Oma jangan khawatir,
pasti aku akan sering main ke sini” ia tersenyum lagi. Oma membalas senyumnya.
“Oma sudah siapkan makan malam. Ayo,
makan dulu!” Oma keluar. Menyiapkan makanan untuk makan malam. Dari balik pintu
Opa Smith terlihat siap untuk makan malam.
Rencananya, setelah pulang ke
Indonesia, ia akan bekerja di perusahaan papanya. Perusahaan yang sudah lima
belas tahun berdiri. Papanya membangun bisnis itu benar-benar dari nol hingga
sebesar sekarang ini. Diva ingin hidup di sana, bekerja di sana, berkarir di
sana, dan yang paling utama, ia bisa dekat dengan keluarga. Apalagi ia suka
rindu pada Kinanti. Sedang apa ya Kinanti sekarang? Lamunnya.
Terakhir ia pulang liburan tahun
baru lalu. Melewati tahun baru di Jakarta melihat pesta kembang api bersama
keluarganya lalu keesokan harinya pergi ke Puncak melewati beberapa malam
dengan kebersamaan, barbeque-an, bercanda-canda, karena ia tahu ia akan
mendapat momen-momen itu sangat jarang. Maka dari itu, masa liburan adalah
waktu yang dinantinya karena ia bisa melihat Kinanti tersenyum, melihatnya bahagia.
Ia tahu Kinanti akan sangat bahagia bila bertemu dengannya, dekat dengannya.
Kadang anak itu membuatnya terharu, terharu karena keadaannya.
“Ayo, Diva makan!” Oma memutuskan
lamunannya.
“Ja (iya), Oma!”
Ia menuju meja makan.
“God aften(selamat malam), Opa!”serunya.
“God aften. Mari kita makan!” Opa menyilahkannya lalu mereka bertiga makan
malam. Menikmati kebersamaan untuk terakhir kali. Oma dan Opa sangat
menyayanginya, karena ialah cucu pertamanya, tiada cucu lain selain Diva dan
Kinanti, karena mereka hanya punya satu anak, yaitu Tuan Pieter, papa Diva.
“Mange tak!(terimakasih). Enak
sekali makanannya. Oma memang jago masak” puji Diva pada Oma.
Makan malam selesai. Diva minta diri
untuk keluar,mencari angin. Tempat favoritnya adalah halaman rumah, karena di
situ ada sebuah ayunan besi tempatnya menikmati langit, menyapa bintang atau
bertegur sapa dengan bulan. Ayunan itu adalah ayunan ketika papanya kecil, pun
juga itu adalah tempat favorit papanya jika sedang ngambek. Begitu kata omanya.
Treeeett,
treeeett. Handphone-nya bergetar. Ada sms masuk.
Kau pulang besok? Kami tidak
sanggup kayaknya tanpamu. Kami masih butuh orang sepertimu di sini untuk
membimbing kami.
Catherine
yang mengirimnya. Ia membalasnya kemudian.
Jangan bilang begitu. Kalian masih
tetap bisa belajar. Belajar dari buku, sharing, internet, dari mana saja kalian
bisa belajar.
Pesan
terkirim. Tidak lama balasannya muncul.
Tapi kami butuh bimbinganmu. Banyak
dari sahabat-sahabat di sini tertarik dengan Islam, namun pengetahuanku belum cukup
untuk menjelaskan kepada mereka.
Diva
membalas lagi.
Silahkan kalian bertanya kepada
Syaikh Ahmad. Insya Allah beliau akan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan
kalian.
Dibalas
lagi.
Tapi…..
Terampil
sekali Diva menyentuh layar Handphone touch screen itu.
Aku pasti kembali. Jangan khawatir!
Dua
menit kemudian dibalas lagi.
Janji?
Diva
tersenyum.
Trust me. I will
Tidak ada komentar:
Posting Komentar