Rinai
- rinai hujan mengguyur lembut di tiap
sudut kota Kopenhagen. Kanal - kanal di taburi jutaan titik - titik air dari langit. Lalu di sana, kapal –
kapal merapat ke pelabuhan Ny Havn.
Di sudut lain, gereja-gereja dan bangunan-bangunan kuno lainnya memantulkan
sinar yang melesat-lesat dari kaca-kaca. Lembut sekali suasananya. Lampu merah
menyetop mobil-mobil mewah yang melintas. Lalu Orang-orang berambut pirang-berhidung
mancung berseliweran di jalan. Mereka berjalan kaki, bersepeda, menikmati kota
sehabis hujan raib.
Kopenhagen
memang kota yang indah. Udaranya bersih, bertebaran kanal-kanal, dekat laut,
dan sejauh mata memandang berderet-deret bangunan kuno berarsitektur memukau.
Kopenhagen juga surganya pejalan kaki. Penduduk-penduduk Denmark gemar berkeliling
kota berjalan kaki atau bersepeda. Mereka
menyusuri Stroget untuk
berjalan kaki. Sungguh memikat hati.
Begitu
dengan hati Raisha yang terpikat untuk mengunjungi Kopenhagen. Gadis manis ini
jatuh cinta kepada Kopenhagen telah lama. Sejak seseorang memberitahunya
tentang Kopenhagen. Liburan kali ini ia kemari. Sendiri. Ia sibuk
memotret-motret di tepi kanal itu. Burung-burung berseliweran riang. Di pagar
sana, nangkring dua ekor merpati memadu kasih. Hangat. Ia mengabadikannya.
Cahaya
matahari makin meredup. Air kanal yang tenang melukis matahari. Memukau.
Memanjakan mata. Semburat cahayanya terbias lembut. Perahu-perahu mungil di
jantung kanal mulai merapat. Membawa berpasang-pasang kekasih menikmati
romantisnya sore ini. Mereka duduk berdua, bertatapan mata, berpegangan tangan,
atau memberi sebuah kecupan manis di dahi. Menulis nama mereka dalam kertas, di
masukkan ke dalam botol, di lemparlah botol itu ke kanal. Mengalir menuju laut.
Berharap cinta mereka abadi. Begitu hangat.
Raisha
begitu manis. Rambutnya terurai lembut. Matanya teduh. Hidungnya mancung.
Bibirnya terbentuk indah. Merah seperti buah saga. Dan satu lagi yang
membuatnya begitu manis, lesung pipit. Gadis ini secantik embun tersenyum, semanis
senja yang kian merona. Terpancar dari aura wajahnya yang menyala-nyala bagai
aurora. Senyumnya khas. Lebih dari manis.
Tak
jauh darinya, seorang lelaki juga asyik memotret. Badannya tinggi. Putih.
Mancung. Nampaknya penduduk Kopenhagen.
“
Excuse me, sir. Do you know how to get Tivoli
? “ Tanya Raisha tentang Tivoli, taman hiburan di Kopenhagen, semacam Disney
Land atau Dufan.
“
Of course. I .... “ lelaki itu ngerem lidahnya. Menatap lekat Raisha. Mata
mereka bertemu. Sekelebat burung lewat. Namun tak menggemingkan mereka. Tatapan itu lembut. Syahdu.
“
Raisha...Sure, it’s you “ Bibirnya Bergetar. Cinta yang hilang. Serpihan hati
yang pergi. Ah, indah nian Tuhan mempertemukan mereka. Tak pernah di duga.
Desir angin membelai lembut wajah Raisha.
Berlarian menuju bangunan warna-warni di sepanjang pelabuhan Ny
Havn. Mata itu tak berkedip. Masih tetap tertuju pada lelaki bermata biru
itu. Ia tahu, ia Pieter, sang mantan kekasih waktu SMA dulu. Sewaktu Pieter
tinggal di Jakarta. Lantas pergi meninggalkannya. Entah mengapa ia pergi.
Hatinya masih tertohok.
Tiba-tiba
suasana bungkam. Hening. Penduduk-penduduk Kopenhagen berseliweran di pinggir
pelabuhan. Duduk-duduk atau sekedar menghirup udara di pinggir kanal. Di balik
kaca-kaca kafe dan restoran, mereka menengok ke kapal-kapal kayu kuno yang
berlalu-lalang. Ah, masih begitu hening. Sebenarnya Pieter ingin berkata
sesuatu. Sungkan lelaki tampan itu. Lama tak berjumpa. Jantung berdekup
kencang. Getar-getar cinta masih tetap cetar membahana.
“
Aku rindu padamu “ Rindu itu tak
terbendung. Empat tahun tak bertemu. Sungguh waktu yang tak sebentar.
Raisha
tak bergeming. Masih bungkam. Tak peduli. Tatapannya tertuju pada rumah-rumah
kuno penduduk yang di biarakan seperti aslinya. Hatinya begitu sakit di tinggal
lelaki ini. Tersayat-sayat hatinya bagai smorrebrod,
makanan khas Denmark yang di santap turis-turis. Semburat cahaya orange matahari pun tak membuatnya bicara sepatah kata pun.
***
Raisha
melangkahkan kakinya. Menyusuri jalan-jalan di Stroget. Sepanjang jalan di
suguhi barang-barang unik yang di jual. Bertemunya ia dengan Pieter kemarin
membuat ia resah. Tak mau menemuinya lagi. Penduduk berseliweran hilir mudik.
Riang. Riuh. Sungguh memikat kota ini. Raisha terus berjalan. Mencari Bottega Veneta, berburu sepatu.
“
How much is this ? “ tanya sang lelaki kepada penjualnya.
“
Two hundred Khrone “ jawabnya ramah.
Lelaki
itu melengos. Menyenggol Raisha. Ia oleng. Lelaki itu menahannya. Memeluknya
segan. Mata mereka bertemu. Alunan biola dari seniman-seniman jalanan begitu merdu. Syahdu. Nada-nada yang indah
membumbui situasi ini. Mata itu tetap bertatapan. Sepuluh detik, dua puluh detik.
Ah, sungguh indah Tuhan merancang situasi ini. Lagi-lagi itu Pieter.
Betapa
sempitnya Kopenhagen. Selalu mereka bertemu di tempat yang tak pernah di
rencanakan. Sungguh memukau Tuhan merangkai peristiwa-peritiwa itu. Mereka
terlihat canggung. Kikuk. Di sekitar, orang-orang melihatnya. Atau bahkan,
seseorang memotretnya karena betapa romantisnya adegan itu.
“
Kenapa kau lari kemarin ? Aku ingin bicara. Aku rindu padamu “ Pieter tetap
memandang matanya. Lekat. Sinar cinta itu masih memancar. Deras memancar.
Raisha
pergi. Menerobos keramaian. Mencari sepeda. Tak mau melihat muka Pieter lagi,
terlalu menyakitkan. Goesan kaki-kakinya membuat sepeda itu meluncur kencang. Wusssss.
Pieter di belakang mengekorinya. Ingin bicara dengannya, gadis yang di rindukan
empat tahun ini. Ia menerobos keramaian. Melewati patung Little Mermaid, sebuah
patung maskot putri duyung, kebanggaan penduduk Kopenhagen. Tembus menuju Amalienborg Palace, istana Ratu
Margareth II, di jaga beberapa orang penjaga mengenakan pakaian tradisional
seperti penjaga Ratu Inggris yang di jahili Mr.Bean, hingga tiba di danau Lob Rundt Om Soerne.
“
KENAPA KAU MENGIKUTIKU ? BELUM PUASKAH KAU MELUKIS LUKA DI HATI INI? “ tinggi
sekali nadanya. Melengking. Bagai musik rock.
“
Aku merinduimu “ dialeknya layaknya orang bule kebanyakan bicara Bahasa Indonesia.
Agak gemelitik di dengar.
“
Buang saja rindu itu. Aku tidak membutuhkannya “ sambil duduk di bangku-bangku
taman. Sinis sekali nada ia bicara. Kecewa itu masih membayang. Pieter
meninggalkannya begitu saja, tanpa sepatah pun alasan ia memutus hubungan itu.
Tiga tahun menanam cinta. Cinta itu tumbuh bersemi bagai bunga cantik di musim
semi. Namun cinta itu kandas terpatahkan entah apa penyebabnya. Begitu tercabik
hati gadis manis itu.
“
Maafkan aku. Ini salahku. Tak pernah maksudku meninggalkanmu “
“
Tapi kau melakukannya “
“
Aku mencintaimu, Raisha. Batinku tersiksa empat tahun ini. Dan ...”
“
LALU BAGAIMANA DENGAN BATINKU? TAK TAHUKAH KAU AKU TERSIKSA? “ nadanya kian
melengking.
Air
mata mengucur laun di pelupuk mata gadis manis itu. Tumpah. Turun melalui
selah-selah pipi. Membasahi lesung pipitnya lalu jatuh ke bangku mungil yang di
dudukinya. Gadis manis itu sedikit sesenggukan. Kecewa. Benci. Sedih. Semua
berbaur. Pieter merapat. Duduk di sebelah gadis yang tujuh tahun di cintainya
itu. Memeluknya lembut. Mengusap-usap rambutnya mesra. Matanya berkaca. Raisha
mengelak.
“
Setahun setelah meninggalkan Indonesia, aku kembali mencarimu. Ke rumahmu,
namun kau sudah pindah. Menghubungimu, aku tak tahu nomormu. Ku tanya
tetanggamu, tak ada yang tahu. Aku putus asa. Dan hari ini, Tuhan mengijinkanku
bertemu denganmu lagi. Aku ingin melepas rindu yang empat tahun ini terkubur di
hati “
“
Untuk apa kau kembali? Untuk apa kau mencariku? Hadirmu hanya akan membuatku
terluka “ melengking.
“
Karena aku mencintaimu “
Mata
itu kembali bertemu. Sinar-sinarnya makin kuat. Wajah-wajah membias di mata
mereka. Membuat sore itu agak mellow. Menegangkan. Dua anak manusia yang
terpisah kembali bertemu. Namun harus di liputi kecewa. Danau Lob Rundt Om Soerne kian indah.
Burung-burung berseliweran di jantung danau. Minum. Atau penduduk Kopenhagen
bersantai di tepi danau. Duduk di bangku-bangku itu. Membaca buku. Di
telinganya earphone berwarna-warni terpasang. Dan di sana, matahari akan di
telan senja.
Sejuta
maaf tak akan menebus kecewa itu. Raisha tetap tak bisa menerimanya.
“
Aku hanya mencintaimu. Dan tak ada yang lain “ menatap matanya.
“
Buang saja rasa cintamu. Aku hanya masa lalumu. Dan tak mungkin ada di masa
depanmu. Sudah cukup aku merasakan ini semua. Sudah cukup “ melengos.
Getir.
Pieter luluh. Gadis manis itu menyuruh membunuh rasa cinta yang tujuh tahun
tumbuh di hati. Seakan hatinya runtuh. Mencoba untuk kembali, ia lakukan.
Mencarinya ke Indonesia, sudah ia coba. Hingga Tuhan mempertemukan mereka di
Kopenhagen, kota sejuta pesona itu. Namun cinta itu tak akan pernah kembali.
Cinta itu di telan rasa kecewa.
“
Selama ini aku sakit. Makanya aku meninggalkanmu. Tak mau ... “
“
Cukup. Cinta itu tak akan pernah kembali. Hari ini aku pulang ke Indonesia.
Senang bisa mengenalmu. Semoga kita tak bertemu lagi. Terima kasih atas cinta
yang pernah hadir “
Ia
pergi. Pulang ke Indonesia. Pieter terhenyak.
***Sebulan kemudian***
Pieter
terbaring. Lemah. Tak berdaya. Mata birunya tertutup rapat. Tubuhnya di liputi
alat-alat medis. Sebulan ini jiwanya
hilang. Ia koma. Penyakitnya kembali menggerogoti tubuh itu. Haru biru
meliputi keluarganya. Ayah, ibu, dan adik-adiknya berwajah mendung. Tangis
tumpah. Entah apa lagi yang harus dilakukan. Langit di Kopenhagen pun membiru
seakan turut berduka cita. Mendadak Kopenhagen bermuram.
Jantungnya
berdekup laun. Deg-deg-deg. Kian laun
tiap detiknya. Tiap hembus nafasnya kian tak tercium. Mengkhawatirkan. Air mata deras mengalir dari
mata-mata keluarga itu. Nyawanya di ujung tanduk. Sebulan tak sadar. Bukan
waktu yang sebentar. Mungkin kalau bisa bicara, alat-alat medis itu lelah
menempel di tubuhnya. Hampir tak bisa di tolong. Tim dokter hampir putus asa.
Pieter
bertarung di lorong kematian. Malaikat pencabut nyawa serasa kian dekat. Ingin
menjemputnya. Hari begitu murung. Berapa banyak tetes air mata yang harus
tertetes. Mungkin Tuhan akan memanggilnya. Tuhan akan menemuinya. Waktu akan
menelannya. Inilah detik-detik akhir umurnya.
Entah
apa yang harus diperbuat. Sebelum koma Pieter selalu menyebut nama Raisha. Di
tidurnya, di hari-harinya, bahkan sepanjang empat tahun ini ibunya selalu
mendengar nama Raisha. Raisha, gadis manis itu amat di kenal keluarganya. Tapi,
di manakah gadis itu? Tak seorang pun mengetahui keberadaannya. Entah harus ke
mana menghubunginya. Membingungkan.
***
Ia
memandang kertas itu berkali-kali. Kertas kecil biru bertuliskan angka-angka
dan sebuah nama. Hatinya galau. Tersiksa. Deretan angka-angka itu nomor telepon
Pieter. Mungkin Pieter telah menaruhnya di tas. Rindu bercampur kecewa. Cinta
bercampur gengsi. Raisha merindukannya. Merindukan lelaki bermata biru itu.
Kertas
itu di remas. Di buang. Di ambil. Di
buang lagi. Di ambil lagi. Di buang lagi. Lalu di ambil lagi. Jiwanya resah.
Bingung. Kalut. Entah haruskah ia meneleponnya. Hatinya terus merangsek. Berontak.
Hatinya berbisik: aku merindukan Pieter.
“
Hallo...Pieter “ suaranya lembut.
Bukan
Pieter yang mengangkat. Ibunya menerima telepon itu. Ia berkisah kepada Raisha
kondisi Pieter. Detail. Lengkap. Tanpa sensor. Hati Raisha tersentuh. Bergetar.
Mendengar lelaki itu terbaring koma sebulan ini. Hatinya menangis.
Menjerit-jerit melebihi anak yang tak dibelikan es krim. Ia ingin berbicara
dengan Pieter. Telepon itu di taruh di dekat telinganya.
“
Pieter. Ini aku, Raisha. Bangun Pieter, bangun ! “ suaranya lirih.
“
Aku merindukanmu. Aku tak pernah membencimu, sedikit pun tak pernah. Selama
ini, empat tahun ini aku merindukanmu. Aku tersiksa karena aku mencintaimu.
BANGUN PIETER, BANGUN! “ suaranya agak parau.
Pieter
tak bergeming. Tubuhnya masih di liputi alat-alat medis itu. Koma.
“
Tegakah kau meninggalkanku untuk kedua kalinya? “
“
AKU MENCINTAIMU “
“
Selama ini aku berusaha melupakanmu. Tapi semakin aku melupakanmu semakin aku
mengingatmu. AKU MENCINTAIMU, PIETER. BANGUNLAH ! Aku tak ingin kehilanganmu
untuk kedua kalinya “
Deg.
Jantungnya berdekup kencang. Jari-jari itu mulai bergerak. Perlahan.
“
Bangun Pieter ! Aku mencintaimu. Bangunlah ! “ air matanya mengalir.
“
A...ku juuu..ggggaaa...meennn..cinnnn..ttaaiimmuuu “
***
Di
atas Round Tower, di jantung kota
Kopenhagen, mereka menghirup keajaiban Tuhan. Kekuatan cinta yang besar.
Sebulan koma, sadar karena kekuatan cinta. Cinta yang tak pernah hilang. Tuhan
merancang ini begitu indah. Kopenhagen cerah. Mereka berdiri di puncak Round Tower. Sejauh mata memandang,
terlihat sejuta saksi cinta terhampar di langit Kopenhagen.
“
Tuhan menunjukkan keajaibannya. Tuhan menciptkanmu hanya untukku. Will you
marry me ? “ manis terucap.
“
Sure “ dengan mantap.
***THE
END***