Bagaimana Agar Anak Semangat Sekolah?
Ini adalah tahun kedua
saya menjadi wali kelas di SMPIT Al-Fawwaz Cikarang. Beragam anak saya ketahui
karakternya. Terlebih sekarang mereka adalah remaja alias ABG. Masa ini adalah
masa peralihan di mana sifat dan sikap mereka banyak berubah. Maka dari itu
saya sering mendengarkan curhatan-curhatan para orangtua murid kepada saya. Seperti
pagi ini.
Kriiiiiing..kriiiing…kriiiiing
tiba-tiba ketika saya sisiran siap-siap berangkat ke sekolah handphone saya
berbunyi.
“Assalamualaikum, Mr.
Apen ini anak saya tidak mau sekolah. Gimana ini?” kata seorang ibu dalam
telepon tersebut.
“Iya kenapa, Bu?” Tanya
saya balik.
“Saya juga tidak tahu. Akhir-akhir ini saya sering
berantem pagi-pagi sama anak saya. Susah banget kalau di suruh sekolah”
“Makin hari makin malas
saja. Sebel saya jadinya” lanjutnya.
“Masa tiap pagi saya harus
menggedor kamarnya sampai bangun membuka pintu. Belum lagi dia lamaaaaaa…sekali
di kamar mandi.”
“Ini bagaimana, Mister?”
Yang bisa saya katakan:
anak malas pergi sekolah adalah suatu AKIBAT. Karena itu, pasti ada
penyebabnya. Ya, kan? Ada sebab, ada akibat. Ilmuwan Isaac Newton menyebutnya “
aksi dan reaksi”. Nah, tugas orangtua adalah mencari penyebabnya melalui proses
telusur.
Proses telusur
memerlukan kedekatan orangtua dan anak. Bila tidak dekat, bagaimana anak mau
menceritakan penyebabnya? Hati-hati, jangan-jangan selama ini anak ingin
bercerita, tetapi kita, orangtua yang telah memblokirnya.
Misalnya, anak
berseloroh, “guruku galak banget, deh …”orangtua memblokir dengan berkata, “makanya
jangan bandel. Kalau enggak bandel ya pasti enggak akan dimarahi guru.”
Atau anak mengeluh,”
pelajaran matematika tuh nyebelin banget, sih!”
Orangtua lagi-lagi
memblokir dengan, “kamu saja yang malas belajar kali”
Kalau begini, anak
pasti enggan bercerita apa-apa pada ayah-bunda. Baru ngomong satu kalimat, ia
sudah dinasihati dan dituding. Apalagi kalau cerita satu paragraf? Lebih baik
tutup mulut deh, mungkin begitu pikir anak.
Jadi bagaimana orang
tua bisa melakukan proses telusur untuk
mengungkap kenapa anak malas ke sekolah?
Bagaikan seorang wartawan, “wawancarailah” mereka. Bertanyalah
pada anak tanpa pretensi, kepentingan, menuduh, apalagi menghakimi. Dengan begitu,
mereka akan bicara terbuka dengan nyaman pada ayah bunda.
Jika anak kita
kebetulan bertipe terbuka (apalagi jika hubungan Anda dan anak cukup dekat),
biasanya dengan pertanyaan terbukapun ia akan langsung terpancing untuk bercerita
banyak. Namun jika anak ayah bunda bersikap tertutup, pancinglah ia dengan
pertanyaan pilihan ganda.
Suatu ketika saya
pernah membantu seorang anak yang agak tertutup, katakanlah namanya Althav. Maka
saya wawancarai ia dengan pertanyaan pilihan ganda untuk memancing ia
bercerita.
“Benar Thav, kamu malas
sekolah?” saya bertanya
“Iya, sebal” jawabnya
singkat
“Yang bikin sebal
berapa orang? Sedikit atau banyak?” pancing saya.
“Banyak” ia menjawab
singkat.
“Wah, banyak ya. Siapa saja
tuh? Guru, ya?”
Ia mengangguk.
“Gurunya banyak atau
sedikit?
“Dua”
“Oooh… dua orang. Kalau
teman ada juga, enggak?” Althav mengangguk lagi.
“Berapa orang?”
“Banyak”
Sedikit demi sedikit
saya mengorek keterangan darinya. Akhirnya terungkaplah penyebab utamanya
mengapa Althav malas-malasan sekolah, yakni di-bully oleh sesama siswa. Seram, ya? Padahal sekolah tempat Althav
belajar adalah sekolah keren, terkenal, dan mahal pula. Sekolah mahal memang
bukan ajminan, ternyata, ya?
Setelah berhasil
memancing Althav cerita, saya tidak memberika solusi. Nah, ini satu lagi kunci
bicara pada remaja: tak perlu memberi solusi secara terang-terangan, tetapi
berikanlah umpan . bila kita member solusi, kita berasumsi bahwa ia bodoh. Padahal
anak-anak kita sangat cerdas dan paling tahu solusi masalahnya sendiri.
“Jadi, menurut kamu
jalan keluarnya bagaimana, Thav?” tanya saya akhirnya.
“Hmm….” Ia tampak
berpikir.
“apa kamu ingin pindah
sekolah?”
“Hmmmm….”
“Atau kamu ingin pindah
kelas?
Althav pun berpikir dan
mengukur dirinya.
“Aku enggak mau pindah
sekolah. Nanti harus penyesuaian diri lagi kalau pindah. Belum tentu enggak
ketemu hal begitu lagi” jawab Althav setelah berpikir panjang.
Ujungnya Althav
memutuskan untuk minta pindah kelas dan belajar
bela diri.
Setelah masalahnya
terungkap dan anak kita sudah mendapatkan solusi untuk dirinya sendiri,
selanjutnya Ayah-Bunda cukup cek dan cek ulang. Tanyakan sesekali padanya, “bagaimana
di sekolah? Kamu bisa mengatasi, enggak?”
Saya ingat Larry King,
pembawa acara terkenal Larry King Live di CNN berkata, “komunikator yang baik
bukan mereka yang pandai bicara, melainkan mereka yang pintar bertanya”
Jadi, ketika
berkomunikasi dengan anak-apalagi saat melakukan proses telusur-yang perlu Anda
lakukan adalah bertanya, bertanya, dan bertanya. Namun, bertanyalah tanpa
menghakimi anak. Satu kata seperti “kan” hanya akan membuat anak menutup diri.
Misalnya, “kamu pasti
begitu, kan?” atau “pasti deh, kamu blab la bla….” Ini pilihan kata yang
menghakimi. Jadi, aturlah agar pertanyaan, kalimat, nada, dan bahasa tubuh Anda
tidak membuat anak merasa diadili. Dengan begitu, ia akan terbuka pada
orangtuanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar