My FLP, My First Love

Jumat, 06 November 2015

Bagaimana Agar Anak Semangat Sekolah?

Bagaimana Agar Anak Semangat Sekolah?

Ini adalah tahun kedua saya menjadi wali kelas di SMPIT Al-Fawwaz Cikarang. Beragam anak saya ketahui karakternya. Terlebih sekarang mereka adalah remaja alias ABG. Masa ini adalah masa peralihan di mana sifat dan sikap mereka banyak berubah. Maka dari itu saya sering mendengarkan curhatan-curhatan para orangtua murid kepada saya. Seperti pagi ini.
Kriiiiiing..kriiiing…kriiiiing tiba-tiba ketika saya sisiran siap-siap berangkat ke sekolah handphone saya berbunyi.
“Assalamualaikum, Mr. Apen ini anak saya tidak mau sekolah. Gimana ini?” kata seorang ibu dalam telepon tersebut.
“Iya kenapa, Bu?” Tanya saya balik.
“Saya juga tidak tahu. Akhir-akhir ini saya sering berantem pagi-pagi sama anak saya. Susah banget kalau di suruh sekolah”
“Makin hari makin malas saja. Sebel saya jadinya” lanjutnya.
“Masa tiap pagi saya harus menggedor kamarnya sampai bangun membuka pintu. Belum lagi dia lamaaaaaa…sekali di kamar mandi.”
“Ini bagaimana, Mister?”
Yang bisa saya katakan: anak malas pergi sekolah adalah suatu AKIBAT. Karena itu, pasti ada penyebabnya. Ya, kan? Ada sebab, ada akibat. Ilmuwan Isaac Newton menyebutnya “ aksi dan reaksi”. Nah, tugas orangtua adalah mencari penyebabnya melalui proses telusur.
Proses telusur memerlukan kedekatan orangtua dan anak. Bila tidak dekat, bagaimana anak mau menceritakan penyebabnya? Hati-hati, jangan-jangan selama ini anak ingin bercerita, tetapi kita, orangtua yang telah memblokirnya.
Misalnya, anak berseloroh, “guruku galak banget, deh …”orangtua memblokir dengan berkata, “makanya jangan bandel. Kalau enggak bandel ya pasti enggak akan dimarahi guru.”
Atau anak mengeluh,” pelajaran matematika tuh nyebelin banget, sih!”
Orangtua lagi-lagi memblokir dengan, “kamu saja yang malas belajar kali”
Kalau begini, anak pasti enggan bercerita apa-apa pada ayah-bunda. Baru ngomong satu kalimat, ia sudah dinasihati dan dituding. Apalagi kalau cerita satu paragraf? Lebih baik tutup mulut deh, mungkin begitu pikir anak.
Jadi bagaimana orang tua  bisa melakukan proses telusur untuk mengungkap kenapa anak malas ke sekolah?
Bagaikan seorang wartawan, “wawancarailah” mereka. Bertanyalah pada anak tanpa pretensi, kepentingan, menuduh, apalagi menghakimi. Dengan begitu, mereka akan bicara terbuka dengan nyaman pada ayah bunda.
Jika anak kita kebetulan bertipe terbuka (apalagi jika hubungan Anda dan anak cukup dekat), biasanya dengan pertanyaan terbukapun ia akan langsung terpancing untuk bercerita banyak. Namun jika anak ayah bunda bersikap tertutup, pancinglah ia dengan pertanyaan pilihan ganda.
Suatu ketika saya pernah membantu seorang anak yang agak tertutup, katakanlah namanya Althav. Maka saya wawancarai ia dengan pertanyaan pilihan ganda untuk memancing ia bercerita.
“Benar Thav, kamu malas sekolah?” saya bertanya
“Iya, sebal” jawabnya singkat
“Yang bikin sebal berapa orang? Sedikit atau banyak?” pancing saya.
“Banyak” ia menjawab singkat.
“Wah, banyak ya. Siapa saja tuh? Guru, ya?”
Ia mengangguk.
“Gurunya banyak atau sedikit?
“Dua”
“Oooh… dua orang. Kalau teman ada juga, enggak?” Althav mengangguk lagi.
“Berapa orang?”
“Banyak”
Sedikit demi sedikit saya mengorek keterangan darinya. Akhirnya terungkaplah penyebab utamanya mengapa Althav malas-malasan sekolah, yakni di-bully oleh sesama siswa. Seram, ya? Padahal sekolah tempat Althav belajar adalah sekolah keren, terkenal, dan mahal pula. Sekolah mahal memang bukan ajminan, ternyata, ya?
Setelah berhasil memancing Althav cerita, saya tidak memberika solusi. Nah, ini satu lagi kunci bicara pada remaja: tak perlu memberi solusi secara terang-terangan, tetapi berikanlah umpan . bila kita member solusi, kita berasumsi bahwa ia bodoh. Padahal anak-anak kita sangat cerdas dan paling tahu solusi masalahnya sendiri.
“Jadi, menurut kamu jalan keluarnya bagaimana, Thav?” tanya saya akhirnya.
“Hmm….” Ia tampak berpikir.
“apa kamu ingin pindah sekolah?”
“Hmmmm….”
“Atau kamu ingin pindah kelas?
Althav pun berpikir dan mengukur dirinya.
“Aku enggak mau pindah sekolah. Nanti harus penyesuaian diri lagi kalau pindah. Belum tentu enggak ketemu hal begitu lagi” jawab Althav setelah berpikir panjang.
Ujungnya Althav memutuskan untuk minta pindah kelas  dan belajar bela diri.
Setelah masalahnya terungkap dan anak kita sudah mendapatkan solusi untuk dirinya sendiri, selanjutnya Ayah-Bunda cukup cek dan cek ulang. Tanyakan sesekali padanya, “bagaimana di sekolah? Kamu bisa mengatasi, enggak?”
Saya ingat Larry King, pembawa acara terkenal Larry King Live di CNN berkata, “komunikator yang baik bukan mereka yang pandai bicara, melainkan mereka yang pintar bertanya”
Jadi, ketika berkomunikasi dengan anak-apalagi saat melakukan proses telusur-yang perlu Anda lakukan adalah bertanya, bertanya, dan bertanya. Namun, bertanyalah tanpa menghakimi anak. Satu kata seperti “kan” hanya akan membuat anak menutup diri.
Misalnya, “kamu pasti begitu, kan?” atau “pasti deh, kamu blab la bla….” Ini pilihan kata yang menghakimi. Jadi, aturlah agar pertanyaan, kalimat, nada, dan bahasa tubuh Anda tidak membuat anak merasa diadili. Dengan begitu, ia akan terbuka pada orangtuanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar